Welcome to Kokkang Update

Selamat Datang di Kokkang Update Kami sedang dalam tahap uji coba. Sabar ya teman-teman. Pokoknya tunggu tanggal mainnya, dah.

Potong Rambut Luar Biasa

Rambut sama hitam kepala masing-masing.

All the Winners

Karikatur karya Amir Taqi, kartunis potensial dari Irak.

Lurie's Works

Salah satu karya kartunis Ranan L. Lurie dari Amerika Serikat.

Daryl Cagle's Work

Kartunis angkatan muda potensial dari Amerika Serikat.

Wednesday, June 27, 2012

Era Kebangkitan Kartunis Facebook

Periode paling monomental bagi kebangkitan kartunis facebook ditandai dengan manuver gerakan "Limaratus Karikatur Pepeng Soebardi". Gerakan yang dimotori Pakarti Pengda Jakarta saat itu (Yan Praba, Yeksa Chandra, dll) bukan saja telah berhasil menghimpun dan mengumpulkan 850 karikatur wajah Pepeng (melebihi target), namun juga bersama Pepeng mengantarkan gerakan itu pada klimaks event, yakni tampil di acara Kick Andy di Metro TV.
Berikut ditampilkan karikatur Pepeng dengan berbagai ekspresi dari sejumlah kartunis dan gambaris yang memuntahkan semua ekspresinya secara total dan mendalam. Para kartunis dan gambaris itu di antaranya adalah: Yustinus, Eno Wijaya, Gom Tobing, Andy Santajaya, Aprianto Setiawan, Bravo Budi, Chandra, Eka Prasetya, Eko S Bimantara, Joko Hardyanto, Jajak Solo, Hendro Yuniargo, Sukriyadi Soekartoen, Widi Yatno, Tyud, Non-O, Yan Praba, Edy Popay dan banyak lagi lainnya yang tak dapat disebutkan semuanya.






Ya Beginilah Kartun dan Kartunis Indonesia

Kartunis LAT saat bertandang ke rumah GM Sudarta (Najib)

Darminto M Sudarmo KATALOG MUSEUM KARTUN INDONESIA BALI, Maret 2008*)

SENI kartun di Indonesia, sejujurnya, tetap belum dapat melepaskan dirinya dari seni grafis. Kalaupun dalam proses perjalanannya sesekali ia punya upaya geliat diri lewat eksperimentasi dan eksplorasi, faktanya upaya itu hanya merupakan riak-riak kecil yang tak menerbitkan gaung signifikan bagi para kartunis Indonesia maupun apresian pada umumnya.

Ada sederetan wacana tentang kartun tiga dimensi, kartun instalasi, kartun kontemporer, dan lain-lain, namun faktanya ia hanya muncul sesaat, sesudah itu lalu menguap begitu saja. Apalagi wacana-wacana yang muncul itu pada tingkat obrolan warung kopi. Belum pernah ada seminar serius bertema sebagaimana disebutkan di atas dan mengundang pembicara-pembicara ahli yang memiliki kompentensi memadai tentang hal tersebut.

Pada akhirnya, arus yang kemudian dianggap dominan mendapatkan tempat dan apresiasi adalah kartun opini (baca: editorial cartoon, political cartoon) dan hanya sedikit apresiasi untuk kartun-kartun lelucon (sosial-budaya) yang notabene secara teknis digambar secara “kodian” dan miskin detail. Dari aspek gagasan yang ditawarkan pun tidak melewati perenungan mendalam, sehingga sebagian besar kartunis lelucon (gag cartoonist) “dituduh” hanya mengolah tema atau topik secara permukaan dengan muatan pesan berkutat dari itu ke itu saja.

Sejujurnya, secara implisit kegenitan seperti itu terasa dari semangat penyajian materi dari Museum Kartun Indonesia Bali yang soft opening-nya dilakukan pertengahan Maret 2008 lalu. Spirit itu seakan ingin mendeklarasikan “ideologi estetika” bahwa kartun yang tidak digambar dengan “indah” dan memuat pesan politis yang “heboh”, maka ia bukan kartun yang layak diperhitungkan dalam peta sejarah kartun di Indonesia. Dengan demikian jika suatu karya kartun tidak mendapatkan apresiasi para pemegang otoritas Museum Kartun Indonesia Bali, maka sudah dengan sendirinya para kartunisnya juga kurang mendapatkan perhatian, apalagi dalam percaturan dan pemetaan apa-siapa kartunis Indonesia.

Melalui kesempatan menulis sebagian dari isi katalog museum kartun tersebut, saya sebagai pihak yang melihat dari sisi “luar”, mencoba menyajikan data dan fakta atau informasi sekilas tentang kartun dan kartunis Indonesia, sejauh yang dapat saya akses, sebagaimana tertuang di bawah ini.

Pertama, dalam periode awal ini telah berhasil dikumpulkan kartun-kartun karya kartunis dari seluruh Indonesia yang memiliki nilai dan momentum tersendiri. Nilai, artinya kartun tersebut punya bobot dan makna pada waktu karya-karya tersebut dimuat di media cetak Indonesia. Momentum, artinya kartun tersebut pernah memiliki riwayat atau track record baik itu terkait karena menang di ajang kompetisi nasional maupun internasional; atau dapat pula, karena kartun itu pernah terkait dengan masalah-masalah kontroversial: misalnya pernah ditolak untuk dimuat oleh redaksi sehingga antara si kartunis dan pemegang otoritas pemuatan terjadi perdebatan seru. Ada pula riwayat kartun yang disomasi (dituntut) oleh pihak lain, sehingga perlu ada kajian serius tentang apa itu persepsi, khususnya dalam melihat persoalan yang sama dari sisi pandang yang berlainan. Pendek kata, kartun itu menjadi semakin punya makna atau istimewa bukan karena persoalan content dan estetika namun bisa juga karena persoalan heritage-nya.

Kedua, dari ratusan, bahkan ribuan koleksi museum yang telah didata, terjaring sejumlah karya master piece dari sejumlah maestro kartunis Indonesia: sebagian di antaranya bahkan, masih hidup dan sehat wal afiat, masih giat berkarya atau mengartun. Mereka antara lain: GM Sudarta (Harian Kompas); Pramono R. Pramoedjo (Harian Sinar Harapan), Dwi Koendoro (Panji Koming, Kompas); Pri S (Majalah Tempo), T. Sutanto (Harian Pikiran Rakyat, Harian Jakarta Post), dan Augustin Sibarani dengan inisial Srani (d/h Kisah, Aneka, Bintang Timur, Pantau dan kini Majalah Tapian). Para kartunis seangkatan Sibarani yang juga menonjol namanya saat itu (antara tahun 1950-1957) adalah: Ramelan (Suluh Indonesia) dan S. Soeharto (Indonesia Raya). Dan yang paling mencengangkan kita semua adalah seorang kartunis yang bernama Thomas Lionar. Kartunis asal Sungailiat, Bangka, ini bergabung dengan Harian Suara Pembaruan dalam rentang waktu yang sangat singkat: pertengahan 1987 hingga 1990 (meninggal dunia). Ya, meninggal dalam usia muda. Meskipun demikian, meskipun Thomas berkarya dalam waktu sangat singkat namun popularitas dan tawaran gagasannya sebagai karikaturis sangat membekas dalam benak masyarakat. Ada yang memberinya julukan “Si Kartunis Meteor”. Sekali muncul langsung bersinar kemudian lenyap menjadi debu. Beruntung kartunis Pramono yang notabene menjadi “kakak asuh” Thomas Lionar berkesempatan menyelamatkan sebagian dari karya-karya terbaik Thomas Lionar, sehingga pengunjung museum juga dapat ikut menikmatinya.

Ketiga, pengelola museum sedang terus berupaya meningkatkan koleksinya dengan memburu kartun-kartun yang pernah terbit tahun-tahun antara 1940 – 1950-an. Disebutkan pada tahun-tahun itu ada seorang kartunis bernama samaran Sumini, yang di kemudian hari orang baru sadar, ternyata Sumini itu adalah Ir. Soekarno alias Bung Karno. Banyak pula orang dibuat cingak oleh sejarah. Sebutlah nama Abdulsalam. Pada masanya ia hanya dikenal sebagai pelukis yang karyanya mendapat tempat tersendiri di hati para penggemarnya, tetapi orang jarang yang menyadari kalau ternyata saat itu Abdulsalam juga berkiprah sebagai seorang kartunis yang andal dan diperhitungkan. Fakta ini nyaris seperti kabut yang menyelimuti perjalanan karier seorang manusia bernama Harmoko. Pemahaman masyarakat saat ini tentang Harmoko adalah seorang figur yang pernah menjadi Ketua MPR RI, Ketua Umum Partai Golkar, dan Menteri Penerangan RI pada masa Orde Baru. Mungkin tak banyak orang yang tahu bahwa Harmoko itu pernah menjadi kartunis di Harian Merdeka dengan inisialnya yang sangat khas: Mok. Ada seorang kartunis hebat asal Bali yang karyanya tergolong fenomenal dan memiliki teknik yang jauh mendahului waktu, namanya Tony Tantra. Sebagai kartunis, lepas dari berbagai persoalan “teknis” yang terkait atau dikait-kaitkan dengan dirinya, Tony sebenarnya sudah berada dalam tataran lapis atas. Entah mengapa ia memilih jalan untuk tidak masuk dalam lingkaran “pergaulan” para kartunis pada umumnya; bahkan sikap itu dia berlakukan kepada sesama kartunis Bali sekalipun. Sayang sekali, Tony Tantra dengan potensi instirinsikk yang sangat besar dan bergelora, kini sulit ditemukan jejaknya. Apalagi sosok dirinya. Bagaimanapun masyarakat tak dapat melupakan ketika tahun 1980-an LHI (Lembaga Humor Indonesia) punya hajat dan mengadakan pameran humor di TIM (Taman Ismail Marzuki), Jakarta, Tony Tantra menampilkan karya karikatur (benar-benar deformasi dan distorsi wajah) Menteri Perminyakan Soebroto digambarkan sebagai penjual minyak yang sedang memikul dagangannya, Menteri Pendidikan Daud Joesoef bergigi buku dan lain-lain tokoh, dengan teknik cat semprot yang sangat halus dan sempurna. Bahkan pilihan sudut bidik, komposisi dan gagasan karikaturnya sendiri sungguh luar biasa. Nyaris, semua media cetak di Jakarta saat itu memuat karikatur Tony di halaman depan dan berwarna. Debut itu sungguh sangat memorable dan sulit untuk dilupakan. Ibarat kata, pameran humor saat itu hanya milik Tony, karena ia benar-benar menjadi bintang dan fokus perbincangan para kritikus maupun masyarakat ramai. Tetapi mengapa harus jalan sunyi dan sendiri yang kini dipilih oleh kartunis misterius ini?

Keempat, tahun 1970-an ke atas dapat dikatakan sebagai tahun ladang persemaian yang subur bagi tumbuhnya “tradisi” kartun lelucon. Kalau kartun-kartun yang disebutkan di atas tadi lebih mengerucut pada pengertian kartun opini (editorial cartoon atau political cartoon), maka kartun yang tumbuh mekar pada tahun 1970-an adalah kartun lelucon bertema sosial, situasi sehari-hari atau bahkan yang penting kartun lucu dan menghibur. Pada tahun-tahun 70-an ke atas, Indonesia, khususnya Jakarta, diramaikan terbitnya majalah-majalah Selecta Group; seperti: Selecta, D&R (Detektip & Romantika), Stop (Humor) dan lain-lain. Di halaman majalah-majalah tersebut dimuat secara bertebaran maupun sebagai stopper, kartun-kartun karya Johnny Hidayat, Subro, Oet, FX S Har, Zen, Harry Pede, dan lain-lainnya. Dua nama yang dianggap paling ngetop untuk kartun lelucon (gag cartoon) pada masa itu adalah Johnny Hidayat dan Subro. Nyaris setiap terbit tiada halaman tanpa kartun mereka. Media yang termasuk longgar memuat kartun sejenis adalah Majalah Variasi, Intisari, Varia, Yunior dan Warnasari. Karena kartun-kartun lelucon itu bersifat kontributif, maka banyak kartunis baru atau yang masih tahap belajar berpartisipasi mengirimkan kartun ke media-media tersebut dengan harapan dapat dimuat dan mendapatkan honor yang cukup memadai. Satu hal yang sangat penting untuk dicatat kaitannya dengan fenomena tersebut adalah tumbuhnya keberanian di kalangan pemula untuk mencoba menjadi kartunis dan tersedia wadah untuk menguji kebisaan mereka.

Kelima, bibit-bibit kartunis baru pun akhirnya bermunculan. Tahun 1980-an, kartunis yang dulunya belajar secara otodidak lewat kartun-kartun lelucon yang dimuat di berbagai media cetak, kini telah tumbuh menjadi sosok yang beda dan tak ragu menyebut diri sebagai kartunis. Tolok ukurnya apa? Tentu saja karena kartun-kartun karya mereka juga telah terbukti ikut meramaikan dunia penerbitan di Jakarta maupun kota-kota lain (daerah) yang menyediakan lahan untuk diisi kartun-kartun lelucon. Maka pada periode ini pula muncul semangat untuk tergabung dalam paguyuban atau komunitas. Itu terjadi lantaran secara faktual, jumlah mereka lumayan banyak, dan semangat mereka juga tinggi. Diawali oleh sekelompok kartunis Yogyakarta: Bagong Soebardjo (Inan), Gunawan R, Gunawan P, Gessi Goran, Anwar Rosyid, T. Nurjito, Wachid Elba Beach, Ashady dan lain-lain bertekad mengikat dalam sebuah komunitas yang dinamakan Pakyo (Paguyuban Kartunis Yogyakarta). Deklarasi pendirian Pakyo ini ditandai dengan mengadakan pameran kartun bersama di Galeri Seni Sono, Yogyakarta. Seperti gayung bersambut, pemberitaan mengenai Pakyo ini mengusik dua kartunis Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah; yaitu Odios (Darminto M Sudarmo) dan Itos (Boedy Santosa). Tanpa banyak buang waktu, keduanya lalu bersepakat mendirikan Kokkang (Kelompok Kartunis Kaliwungu). Tanpa banyak buang waktu pula, keduanya lalu mengadakan pameran kartun bersama di Pendopo Kawedanan Kaliwungu (1982). Situasi menjadi semakin menarik ketika orang menggunjingkan lahirnya Kokkang karena kemunculan Pakyo; sepertinya peristiwa itu terjadi karena pengaruh teori efek domino saja. Tetapi, ada pula yang menyanggahnya. Pakyo lahir karena memang harus lahir. Kokkang lahir karena memang sudah waktunya lahir. Rasanya tak perlu menghubung-hubungkan gejala itu sebagai akibat dari teori efek domino segala. Intinya, kalau itu bisa terjadi karena kebetulan semata. Tetapi apa yang terjadi kemudian? Pameran kartun Odios dan Itos yang saat itu dihadiri Jaya Suprana dan para kartunis Semarang, benar-benar membuktikan bahwa teori efek domino itu tak dapat dikecilkan artinya; karena kurang dari seminggu setelah mereka mengunjungi pameran di Kaliwungu, kartunis-kartunis Semarang lalu mendeklarasikan berdirinya Secac (Semarang Cartoon Club). Sekelompok kartunis Semarang lainnya yang punya prinsip beda mendirikan Wak Semar (Wadah Kartunis Semarang). Begitulah jejak yang tertinggal. Jejak yang masih dapat dilacak. Bila sesudah itu masyarakat menyaksikan suburnya pendirian paguyuban atau kelompok kartunis lain yang tak kunjung putus tak kunjung rampung, maka tak sulit untuk menarik benang merah korelasi, bahwa itu semua terjadi karena pengaruh virus latah atau trend atau efek domino tadi. Jangan heran kalau Anda kemudian menjumpai nama-nama komunitas kartunis seperti ini: Terkatung (Terminal Kartunis Ungaran), Pakarso (Paguyuban Kartunis Solo), Pecahban (Pecandu Kartunis Bandung), Pokal (Persatuan Kartunis Tegal), Perkara (Persatuan Kartunis Rawamangun), Ikan Asin (Ikatan Kartunis Banjarmasin) dan masih banyak lagi lainnya.

Keenam, paguyuban-paguyuban atau kelompok kartunis yang marak dan bertebaran di berbagai titik lokasi di Jawa, Bali, Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi itu sedikitnya membuahkan hasil berupa kompetisi sehat dan adu kuat dalam survival kelompok atau individu melawan gerusan waktu. Hasilnya lumayan. Alam menyeleksi lewat kebajikannya. Akhirnya muncul nama-nama yang pada saat naskah ini ditulis, mereka masuk kategori second grade. Siap mengintip singgasana maestro yang sebetulnya juga milik mereka sendiri. Siapapun boleh setuju atau tidak setuju, tetapi keputusan menyebut sebagian nama mereka semata-mata karena pertimbangan: prestasi, penilaian kritikus dan pengakuan publik (dalam atau luar negeri). Nama-nama itu misalnya: Jitet Koestana, M. Najib, Jango Pramartha, Thomdean, Benny dan Mice, Tyok, Gessi Goran, Non-O S. Purwono, Gunawan Pranyoto (Goen), Mukhid Rahmat, M. Syaifudin, M. Nasir, Hanung Kuncoro, Koesnan Hoesie, Muslih, Wiednyana, Gun Gun, Gus Martin, Den Dede, Deny Adil, dan banyak lagi yang tak dapat ditulis di sini karena keterbatasan halaman. Bahkan kartunis Pri S (Priyanto Sunarto) yang telah meraih doktor dengan disertasi “Metafora Visual Kartun Editorial pada Surat Kabar Jakarta 1950-1957”, di depan para peminat kartun mengatakan, bahwa Jitet Koestana itu sebenarnya sudah layak dimasukkan ke dalam kategori salah seorang maestro kartunis Indonesia. Pendapat itu sah. Namun proses pengakuan publik, juga memerlukan waktu. Apakah sistem nilai di negeri kita sudah dapat melihat masalah dengan kaca mata adil dan bijak? Misalnya wacana tentang Jitet apakah perlu harus menunggu dia berumur lanjut lebih dulu, kenyataannya, kendati secara usia dia masih tergolong muda namun kualitas karyanya tidak terlalu jauh dari para maestro yang ada saat ini.

Ketujuh, mengingat keterbatasan tempat pajang, akan sangat bijak bila pengelola museum dapat mengakomodasi kartun-kartun bagus yang belum berkesempatan dipajang untuk diolah dalam format digital; baik itu yang berkaitan dengan karya berwujud visual, audio, maupun audio visual. Pelayanan ini berkemungkinan menjembatani kehausan pengunjung agar dapat mengakses informasi seputar kartun (dwimatra maupun trimatra) dan segala bentuk informasi yang berkaitan dengan kartun Indonesia dalam pengertian yang seluas-luasnya. Tengara bahwa Museum Kartun Indonesia Bali memang benar sebagai museum kartun pertama di Asia Tenggara, ia bukan hanya sebuah kebanggaan, tetapi juga sebuah pekerjaan rumah yang cukup panjang dan menantang.

Catatan
*) Tulisan berikut merupakan sebagian dari bahan katalog yang diterbitkan oleh Museum Kartun Indonesia Bali dan telah dilakukan penyuntingan/penulisan ulang oleh penulisnya sendiri.

Kartunis Indonesia Menggugat

Djoko Susilo

Darminto M Sudarmo, (Dokumen Pribadi/Belum Dipublikasikan), 22 Desember 2009.

Bukti bahwa kartunis Indonesia, khususnya para kartunis lepas,  gelisah, sudah terlihat sejak tahun 1980-an. Maka ketika terjadi “Pertemuan Kartunis Nasional”  yang bertempat di Balai Wartawan – Semarang, Jawa Tengah (sekarang:  Hotel Ciputra-Simpang Lima) pada 1985-an, dengan agenda  besar yang diusung:  upaya pemberdayaan kartunis terkait dengan posisinya sebagai profesi, mudah ditebak apa yang terjadi kemudian: kartunis Indonesia “menggugat”.  Salah satu rekomendasi yang dicuatkan saat itu adalah mengimbau media massa (koran dan majalah) memberikan peluang selayak-layaknya  lewat penyediaan rubrik yang di dalamnya memuat gambar kartun sebagai menu rutin media tersebut.
    Apakah imbauan dari para kartunis tersebut mendapatkan sambutan dari media cetak yang ada saat itu? Secara langsung, tidak. Namun bila dicermati secara bertahap, ada progresi yang terlihat. Bahkan secara kasar dapat dipersentasekan: media massa yang memuat kartun kurang lebih 70% dan yang tidak memuat sekitar 20%, sedangkan yang 10% kadang memuat kadang tidak.
    Paradoks dengan fakta di atas, sepuluh tahun terakhir (sejak reformasi bergulir), tumbuh begitu banyak dan beraneka media cetak. Ada yang sekali terbit selanjutnya tidak ada kabarnya, alias gim. Ada pula yang terbit tiga/enam bulan sekali. Dan yang tak kalah menghebohkan, khususnya media cetak daerah: baru terbit kalau ada pengangkatan pejabat baru.  Ibarat kata, media massa di era reformasi, banyak yang berguguran; itu terjadi lantaran tidak disambut baik oleh konsumen; namun tak kurang pula yang dapat bertahan dan tumbuh menjadi media cetak cukup tangguh dan membayangi beberapa media cetak yang tergolong establish. Dan kondisi yang terjadi saat ini bila dihubungkan dengan uraian  di atas dapat ditemukan perbandingan penyediaan rubrik kartun/humor di media dimaksud  dengan komposisi kuang lebih: 30%  media yang konsisten dan sustain menyediakan rubrik kartun; 60%, media yang sama sekali tidak menyediakan rubrik kartun, dan 10% yang kadang memuat/tidak memuat kartun.

Orientasi Baru
    Simpul persoalan sederhana yang dapat kita tarik korelasinya adalah: pada tahun 1980-an saja sudah ada kegelisahan kartunis semacam itu, apalagi pada tahun-tahun terakhir ini. Kegelisahan itu memang layak muncul terutama bila dikaitkan dengan posisi kartunis sebagai profesi. Tidak heran, bila kegelisahan yang semula lebih tertuju pada faktor media (gambar kartun di kertas/grafis) dan pilihan publikasi (koran atau majalah) namun karena secara obyektif tak banyak yang dapat diharapkan lagi, kini tumbuh wacana baru, katakanlah semacam gugatan, bahwa kartunis dalam berekspresi tak seharusnya bergantung pada media cetak semata. Perlu ada upaya lain dan orientasi baru.
    Pilihan media ekspresi nya pun akhirnya dibentangkan selebar mungkin. Dari animasi, buku, batik, kanvas (cartoon painting/oil), keramik, sablon (t-shirt, mug, tas, dompet dan lain-ain), kartu ucapan, hingga ke alat bantu presentasi (slide show, jpeg, dan lain-lainnya). Pilihan-pilihan media ini ada yang sebagian lebih cocok ke ranah industri (produk massal), ada pula (tidak banyak) yang cocok untuk diaktualisasikan lewat sentuhan personal. Salah satunya adalah penggunaan media kanvas dalam bentuk lukisan kartun (cartoon painting/oil).  Kalau pilihan ini bermotifkan “logis’-nya prospek sebagaimana yang terjadi pada seni rupa (seni lukis), wallahu alam. Istilah lukisan kartun atau cartoon painting/oil  ini sendiri sebenarnya masih sangat spekulatif. Dalam literatur seni kartun, belum ada yang secara eksplisit menyebut istilah cartoon painting atau cartoon oil, dalam konteks aliran seni kartun atau kredo. Bahkan satiris Inggris, John Leech (1817-1864), yang di kemudian hari karya-karyanya banyak digolongkan pengamat sebagai  bercorak kartunal/karikatural, mulanya lebih dikenal sebagai karikaturis (pelukis wajah yang berisi sindiran) dan ilustrator. Salah satu karya karikaturnya yang sangat popular berjudul  Substance and Shadow dimuat pada 1843, di Majalah Punch, majalah humor terkemuka pada zamannya yang terbit di Inggris. Sebagai illustrator, karya Leech juga menghiasi buku Charles Dickens; salah satu di antaranya A Christmas Carol.
    Masih di tahun 1843, pelukis Inggris John Callcott Horsley (29 Januari 1817-18 Oktober 1903) dikenal pula sebagai pencipta Kartu Natal pertama di dunia yang ilustrasi kartunya mengundang kontroversi karena menggambarkan anak kecil sedang meminum anggur, lewat karyanya yang berjudul St Augustine Preaching  memenangi sayembara Westminster Hall. Karya lukisnya ini disebut orang sebagai karya kartun. Itu terjadi lantaran muatan sindiriannya yang sangat kuat. Setahun kemudian Horsley terpilih sebagai salah satu dari enam pelukis yang ditugaskan untuk membuat lukisan dinding di Gedung Parlemen Inggris. Ada pertanyaan yang muncul, mengapa (bahkan) para pelukis pun berkecenderungan untuk menyindir atau mengkritik setiap berurusan dengan Parlemen Inggris ketika itu? Jangan-jangan jawabannya performance Parlemen Inggris ketika itu tak jauh berbeda dengan parlemen kita di zaman Orde Baru atau sepuluh tahun terakhir ini?

Interval Budaya
    Satu hal yang menarik untuk disimak, berkaitan dengan semangat kartunis Indonesia yang juga mau melukis selain mengartun rutin di media massa (cetak) sepertinya secara sadar atau tidak sadar mereka sedang berupaya “back to basic”. Bagaimana tidak? Sebelum seni gambar/grafis lucu yang bernama kartun ditemukan atau disepakati termoniloginya, sebenarnya sebagian pelukis Eropa khususnya, telah melakukannya. Mereka melukis (tentu dengan media dan alat lukis sebagaimana yang kita pahami saat ini) baik wajah seseorang (dikenal masyarakat luas) atau peristiwa tertentu yang menjadi pusat perhatian masyarakat luas, dengan menyelipkan sindiran atau kritik di dalamnya. Apakah itu artinya para kartunis Indonesia akan melakukan re-aktualisasi warisan “seni” terdahulu karena “gawat”-nya media cetak yang mulai terancam eksistensinya atau ada strategi lain yang diam-diam telah mereka siapkan?
    Namun bila dicermati lebih arif, sebenarnya “gerakan” yang bertumpu pada titik gelisah para kartunis Indonesia itu lebih tampak sebagai interval budaya yang penuh tantangan baru. Berubahnya disiplin dari pensil, pena/tinta, cat air dan kertas menuju kanvas, kuas, cat minyak/akrilik adalah revolusi media dan bahan; khususnya bagi yang baru pertama kali memulainya. Oleh karena itu, pilihan yang cukup ekstrem ini bukannya tanpa risiko. Pertanyaannya, benarkah ada kartunis yang belum gaul sama sekali pada media dan bahan seni lukis? Bukankah tak kurang pula pelukis Indonesia yang juga cukup mahir bekerja dan berpikir bak seorang kartunis? Lihat saja lukisan-lukisan karya Heri Dono, Eddie Hara, Erica, dan I Nyoman Masriadi, sekadar menyebut nama. Bukankah karya-karya mereka juga cukup mengandung “ruh” kartun atau setidaknya bernuansa kritik dan sedikit berbumbu humor.
    Sekali layar terkembang, pantang untuk surut kembali. Begitu setidaknya semangat yang merayapi sejumlah kartunis Indonesia yang konon akan menampilkan “gugatan”-nya pada Pameran Lukisan Kartun di Yogyakarta tahun 2010; kapan persisnya kita tunggu saja seperti apa wujud gugatan mereka.

Megawati di Mata Kartunis

Jadud Sumarno

Darminto M Sudarmo – (Buku) Anatomi Lelucon di Indonesia , Kompas, 2004

    PEPATAH lama mengatakan, koran/majalah tanpa karikatur ibarat sayur tanpa garam; hambar. Apakah itu berarti karikatur sejenis makhluk yang berasa asin? Tentu tidak. Karikatur itu sejenis tajuk rencana dalam bentuk gambar lucu. Kalau tajuk rencana menggambarkan sikap serius suatu penerbitan terhadap berbagai peristiwa atau tokoh yang sedang in atau menjadi bahan pembicaraan ramai masyarakat, maka karikatur bersikap secara beda; yakni, memberi isyarat-isyarat bahaya yang mungkin akan terjadi di masa depan sambil menyentil pihak-pihak tertentu dengan gayanya yang khas, lucu.
Cara ini cukup ampuh untuk mengajak pembaca merenungi  persoalan sejenak dan kemudian di ujung perenungannya itu, biasanya pembaca akan menemukan sesuatu  yang terungkap dalam bentuk senyum simpul atau ledakan tawa sebagai reaksi atas pemahamannya pada masalah yang ditawarkan kartunis.
Dengan kata lain, ibarat orang memberi pil pahit pada seseorang, kalau disertai segelas air, tentunya pasti lebih mudah ditelan. Begitu pula dengan kritik, akan efektif bila disampaikan dengan kemasan yang santai dan berbumbu humor. Itulah tugas utama seorang kartunis atau lebih spesifik: karikaturis.
    Karikaturis yang baik, umumnya mampu mengeliminasi sebuah fakta yang ruwet dan kacau-balau menjadi sesuatu yang sederhana dan mudah dipahami, terutama lewat coretan gambarnya yang sangat ringkas; yakni, cuma satu kotak. Bayangkan, hanya satu kotak namun dapat mengungkap suatu cerita secara lengkap dan rampung.
Sementara itu, dalam hal meng-obok-obok substansi persoalan, karikaturis biasanya juga tangkas meragakan arogansi yang kenes, ignoransi yang naif, kesenjangan antara kata dan perbuatan, redukalisasi pernyataan oleh kenyataan, sembunyinya kesejatian wajah di balik kedok, kebengongan menghadapi yang absurd, kejelian menemukan dusta di balik kata-kata dan lain sebagainya. Setidaknya itu yang pernah disinyalir oleh Prof. DR. Fuad Hassan yang punya perhatian cukup istimewa terhadap humor dan kartun.
    Dari seluruh kerja karikaturis (editorial/political cartoonist) yang tampaknya sederhana dan tinggal corat-coret itu, ternyata tidak sesederhana yang diduga orang. Minimal, ia harus punya bekal wawasan jurnalistik yang memadai; melek pengetahuan tentang masalah sosial, politik, ekonomi, hukum, kebudayaan, pertahanan dan keamanan. Khusus di negeri kita, karikaturis juga musti melek  juga soal SARA (suku, agama, ras dan antargolongan); sesuatu yang sangat peka dan rentan masalah, bila tak pandai-pandai menyiasati. Masih belum cukup; karikaturis ternyata harus pintar mengemas kritiknya dalam suasana yang lucu atau jenaka; ini penting, untuk menghindarkan diri dari kecenderungan main vonis terhadap figur tertentu. Atau paling tidak, terhindar dari sikap insinuatif dan provokatif. Sehingga karyanya jadi tak beda dengan sebuah poster.
    Apa jeleknya, poster? Karikatur memiliki “ideologi” yang lugas; yakni, bebas dari pretensi menghakimi; ia hanya memberikan isyarat-isyarat bahaya yang mungkin akan terjadi (It’s just early warning). Poster sebaliknya, menolak atau menyetujui sesuatu langsung pada persoalan, karena biasanya ia menjadi alat propaganda. Pendek kata, karikatur tanpa kontemplasi bakal terjerembab ke wilayah poster, yang parameter kualitas dan independensinya sudah jelas-jelas, sangat berbeda.
    Di sisi lain, belum banyak orang mengerti, bahwa suka-duka karikaturis juga banyak; terutama di rezim Orde Baru; saat itu, begitu kompleks rambu-rambu larangan yang harus dicermati. Selain tidak boleh menyinggung SARA, juga tidak boleh menyinggung Keluarga Cendana, ABRI dan institusi-institusi lain yang dianggap peka.
Bisa dibayangkan, seperti apa produk karikatur yang muncul pada periode represi semacam itu? Untunglah, Megawati dengan PDI-nya pada periode itu, berada di posisi yang disakiti dan dipinggirkan, sehingga bukan sesuatu yang aneh bila sikap pers, secara diam-diam dan agak malu-malu, berupaya “membela” dan “bersimpati” pada Megawati. Ini sesuai moral pers, membela kaum yang lemah dan ditindas penguasa. Tak terkecuali, para karikaturis juga bersikap serupa. Dan sejumlah karikatur yang muncul di buku ini, diangkat dari November 1993 hingga tahun 1999, tampak nuansa yang menggambarkan proses itu.
    Demikian alakadar pengantar sekilas untuk membantu pembaca agar dapat memahami bagian kecil dari keunikan cara berpikir dan bersikap para karikaturis. Dan supaya pemahaman pembaca makin lengkap dan kaya, berikut disajikan opini para kartunis terhadap profil seseorang yang sangat penting dan bakal merangkai sejumlah sejarah penting di negeri ini. Siapa lagi tokoh itu, kalau bukan Megawati Soekarnoputri dengan PDI Perjuangan-nya. Ini dia, kesan dan pesan mereka.

(Tentu saja komentar para kartunis berikut diungkap beberapa waktu sebelum Megawati menjadi Presiden RI-penulis).


GM SUDARTA, Harian Umum KOMPAS
 Dikuya-kuya. Kalau harus berpihak, di manakah keberpihakan kartunis? Sementara kita beranggapan, kartunis itu berdiri di luar pagar; sebagai pengamat, sebagai anjing penjaga yang siap menyalak apabila ada sesuatu kecurigaan terhadap sesuatu yang tidak beres.
    Kami rasa, memang kartunis harus berpihak; yakni berpihak kepada Hti Nurani Kebenaran dan Keadilan serta Hukum yang dipermainkan oleh penguasa untuk membodohi rakyat dan memojokkan Mbak Mega.
    Simpati dan rasa hormat kami kepada Mbak Mega yang banyak diam dan tersenyum , meskipun telah “dikuya-kuya”. Kami yakin Mbak Mega, bahwa “Wani ngalah iku dhuwur wekasane”.

PRAMONO R. PRAMOEDJO
, Harian Sore SUARA BANGSA
    Sebagai seorang tokoh politik yang kharismatik, Megawati Soekarnoputri, yang lebih banyak diam daripada bicara secara terbuka itu, tampaknya cukup puas dengan begitu besarnya dukungan masyarakat terhadap dirinya dan PDI Perjuangan. Dukungan yang terang-terangan, terbuka, maupun yang  diam-diam dan samar. Dukungan yang didasari akal budi dan realitas kebenaran, maupun yang emosional atau sekadar ikut-ikutan.

    Saya yakin, Mbak Mega pasti sudah diingatkan oleh para penasihatnya soal bahayanya ranjau “puas diri” itu; yang jika tidak disadari dan diredam akan menjadi bumerang bagi dirinya sendiri.
    Sebagai seorang kartunis, saya pun mengamati fenomena PDI dan Megawati; sejak KLB di Surabaya, 1993; Kongres di Medan dan bahkan, sebelumnya. Yang saya ketahui, putri Bung Karno ini memang terkesan “dingin” jika dibandingkan dengan mendiang ayahnya, yang “panas” itu. Sebenarnya, jenis wejangan dan pelajaran atau falsafah apa yang diterimanya sih, sehingga terkesan dingin tapi tidak arogan itu.
    Mbak Mega dan Partai Demokrasi Indonesia bagi rakyat Indonesia ibarat “mimi lan mintuno”, tidak terpisahkan. PDI ya, Mega, Mega ya, PDI! Begitu kata orang. Meski diobok-obok , digoyang-goyang, bahkan digunting dalam lipatan, Megawati Soekarnoputri tetap teguh, tegar; atau jangan-jangan malah, cuek!
    Keinginan rakyat saat ini agar Mega berbicara di depan umum tentang jalan pikirannya perihal negeri ini dengan program-programnya ke depan, mungkin sama dengan kegilaan saya untuk mendengarkan setiap kata dan kalimat yang diucapkan Bung Karno dalam setiap pidatonya yang disiarkan di radio. Jadi, tunggu apa lagi, Mbak?
    Sebagai seorang kartunis, sudah sejak lama saya pun ingin menggambarkan fenomena Mega ini ke dalam karya-karya saya secara utuh, lugas dan transparan permasalahannya. Namun, kita semua tahu, zaman Orde Baru, boleh dikatakan mengemukakan pendapat secara bebas dan jujur itu barang mahal dan berbahaya. Tapi, di situlah tantangannya. Jika terang-terangan sulit ditembus, maka masih ada cara dan jalan lain “menuju Roma”. Bukan asal jadi, namun suatu karikatur yang “halus bak sutera” sehingga tidak begitu mudah dicerna; memang itu memerlukan kreativitas yang tinggi. Yang ketika dituangkan ke dalam gambar karikatur masih memerlukan suatu “filter” yang membuat karya itu berhenti pas, pada suatu garis yang aman. Aman bagi surat kabar yang memuatnya, aman bagi seluruh karyawan penerbitan, dan utamanya aman…bagi saya!
    Alhasil, karikatur-karikatur yang secara tegas dan jelas memajang Megawati Soekarnoputri yang harusnya dibela (salah satu misi karikatur adalah membela yang benar namun terpojok), akan berkonotasi ikutan memojokkan Mega, atau bahkan karikatur bertemakan PDI dan Mega sangat jarang muncul; lantaran pimpinan redaksi surat kabar bersangkutan berkeberatan memuatnya dengan alasan: keamanan.
    Sekian dulu, terpaksa saya hentikan, soalnya saya diburu untuk segera menggambar karikatur.

PRIYANTO S. Majalah Berita Mingguan TEMPO dan D&R
    Mega seangkatan denganku waktu SMA. Cuma, dia di SMA Cikini, aku di Kanisius. Kadang penasaran juga main ke Cikini naik sepeda mau tengok puteri presiden. Naksir sih, tak berani; meski Bung Karno pernah menawarkan siapa pun boleh melamar Mega, saat ramai-ramainya kampanye sukarelawan Dwikora.
    Waktu itu penampilan Mega sederhana banget. Boleh jadi hasil didikan ibunya, Bu Fatmawati yang orang Sumatera Selatan itu. Dan memang saat itu belum musim anak presiden jadi konglomerat.
    Nama Mega baru ramai lagi sejak tiba-tiba Kongres PDI (seperti biasa) ricuh dan orang ribut cari Mega buat ketua penengah. Selanjutnya perjalanan Ibu Mega kita sudah kita ikuti bersama. Juga selanjutnya kesanku tak beda dengan kebanyakan orang; ia tetap sederhana.
    Kelihatannya beliau suka mendengar dan membimbing, kurang suka meracau dan tak ambisius. Yang meributkan beliau jadi presiden kan orang-orang…Ibu Mega sih, diam saja. Betul begitu kan, Bu?

M. NAJIB, Harian RAKYAT MERDEKA
    Pemilu kemarin kalau nggak salah, diikuti oleh 48 partai; tapi, sepertinya hanya ada 2 (dua) partai saja yang bertarung; yakni, PDI Perjuangan dan Partai Golkar. Sebagaimana kita semua tahu, PDI Perjuangan dengan Ketua Umumnya Megawati Soekarnoputri di masa Orde Baru selalu dikerjain oleh Rezim Soeharto. Sedangkan Partai Golkar adalah kendaraan politiknya BJ Habibie, yang pernah mengaku murid daripada Soeharto.
    Kenapa PDI Perjuangan bisa mengungguli perolehan suara dari partai lain, termasuk Golkar yang di masa lalu, tiap Pemilu selalu menang sebelum perhitungan suara dilakukan? Karena bagi rakyat banyak PDI Perjuangan merupakan wadah untuk mengekspresikan kemuakan orang terhadap Rezim daripada Soeharto. Ingat 27 Juli 1996 adalah suatu momentum penting yang akhirnya “menobatkan” Megawati sebagai korban yang di-kuyo-kuyo oleh Orde Soeharto.
    Jadi ketika kemuakan terhadap Rezim Soeharto semakin memuncak, sosok Megawati yang semula menjadi korban lantas muncul sebagai alternatif.
    Anehnya, kenapa Rezim daripada Soeharto takut terhadap Megawati yang jelas hanya seorang wanita ramah, keibuan dan agak pendiam itu? Atau jangan-jangan khawatir dengan kursinya?
    Dengan bukti kemenangan PDI Perjuangan dalam Pemilu 1999, wajar toh bila pendukung Megawati berharap ia jadi presiden. Tapi, kata orang-orang pinter yang ngatur negara, di Indonesia, Pemilu adalah pemilihan wakil rakyat, bukan pemilihan presiden.
    Nah, ternyata di masa reformasi ini pun, Megawati masih juga diganjal oleh pihak-pihak pro-status quo; bahkan Majelis Ulama Indonesia ikut-ikutan mengeluarkana fatwa bahwa wanita tidak bisa menjadi pemimpin/presiden. Lho, katanya negara demokrasi, kok masih ada perbedaan antara laki-laki dan wanita? Padahal, syarat jadi presiden harus dipercaya oleh rakyat mayoritas; dan Pemilu sudah membuktikan itu. Misalnya yang menjadi presiden bukan Megawati, dilihat dari jumlah suara, jelas tidak mencerminkan kepercayaan yang diberikan oleh rakyat.
    Ada anekdot yang berkembang di masyarakat luas.
    Presiden pertama, suka wanita.
    Presiden kedua, takut wanita.
    Presiden ketiga, kewanita-wanitaan.
    Presiden keempat, wanita beneran!
 
NON-O S. PURWONO, Tabloid TOKOH, PERSPEKTIF dan lain-lain.
    Megawati adalah figur dari simbol demokrasi. Bahwa ia adalah manifestasi dari “Ibu bagi rakyat jelata” atau “Wanita santun yang selalu memilih diam” atau “Wanita baja yang senantiasa tertindas oleh Monster Politik bertangan besi” adalah gambaran yang khas bagi Megawati.
    Bagi saya, Megawati adalah simbol perjuangan yang tak kunjung henti. Ulet, pantang menyerah, senantiasa berjuangan tanpa kekerasan – tak terkecuali ketika suasana kekerasan sedang menjadi kebutuhan hidup sehari-hari – Megawati toh tampil dengan pola pandangan perjuangan seperti Mahatma Gandhi, Ahimsa. Anti kekerasan.
    Megawati, selalu tampil sejuk di setiap kesempatan; di tengah-tengah rakyat yang haus kelembutan karena kegerahan suasana politik dan kekerasan; inilah yang membuat rakyat bak menemukan sebuah oase di tengah padang pasir. Ini pula yang membuat Megawati tampil menjadi semacam tempat berteduh bagi rakyatnya.
    Ia menjadi semacam idola yang muncul pada saat bangsa Indonesia sedang dilanda krisis kepemimpinan selama 30 tahun lebih. Selama ini rakyat bagai kehilangan panutan. Kemunculan Megawati sebagai idola bagi saya seakan seperti rakyat Indonesia yang semula kehilangan kepercayaan dirinya untuk bertindak, bersikap maupun berbicara; lalu berubah menjadi bangsa yang menemukan kembali kepribadian aslinya.
    Barangkali menarik menyitir ucapan Henry Kissinger yang mengatakan, “Intelligence is not all that important in the exercise of power, and is often, in point of fact, useless.” Akal bukanlah hal yang paling penting dalam menjalankan kekuasaan, dan dalam kenyataannya, sering tidak ada gunanya. Dalam beberapa hal, Megawati sangat tepat menjalankan perjuangannya dengan melihat pada hati nurani, bukan pada akal semata.
    Lihatlah, hati nurani sekarang ini menjadi “barang mewah”  bagi penguasa politik yang mengaku sebagai wakil rakyat atau pembela rakyat. Bagaimana dapat mengerti hati nurani rakyat kalau di tengah-tengah krisis yang sedang melilit bangsa Indonesia, masih banyak dijumpai pejabat yang dengan enaknya memakan uang suap. Di tengah-tengah rakyat yang kelaparan masih ada berita pejabat yang menilep bantuan uang hak para petani, korupsi di berbagai instansi, pejabat penegak hukum yang menerima uang sogok dan sebagainya.
    Bagaimana bisa dikatakan mengerti hati nurani rakyat kalau kepentingan pribadi dan kelompok lebih diutamakan daripada kepentingan rakyat? Seluruh rakyat Indonesia tahu semua kejadian itu di depan hidungnya. Mbak Mega, panggilan akrab Megawati, pun juga tahu; terutama tahu hati nurani rakyat Indonesia.
    Satu hal yang sangat kita harapkan, hendaklah Megawati selalu konsisten dengan perjuangannya; yakni, membela kepentingan rakyat. Menurut saya, beliau tahu persis apa yang dimaksud dengan suara hati nurani rakyat itu; karena apa yang dialaminya selama ini adalah cerminan dari penderitaan rakyat. Dan seorang ibu lebih banyak menggunakan naluri keibuan dan hati nurani dalam mengasuh “anak-anak”-nya; apalagi, anak-anaknya selama ini haus kasih sayang, kelembutan dan keteduhan.
    Tampilnya Megawati ke pentas politik Indonesia, barangkali merupakan siklus alam yang tak dapat dihambat dengan cara apa pun. Terbukti dengan berbagai rekayasa penjegalan dirinya, yang tak kunjung mempan jua; bahkan, Mega tampil makin perkasa. Ia figur yang telah lolos dari ujian berat Kawah Candradimuka dan mampu keluar dengan tetap tegak, berwibawa dan dicintai rakyat.
    Silence is a friend who will never betray. Diam adalah sahabat yang tak pernah berkhianat.
    Mega, Yesss!

JITET KOESTANA, Tabloid SENIOR
(Aksen anak kecil)

    Balu-balu ini di Jawa Timul, belulang lagi kejadian cap jempol dalah yang menghebohkan itu. Maka, komental pun langsung belkembang meliah, sepelti pasal malam. Ada yang menentang,  ada yang mengklitik, ada yang menggului, ada pula yang mencemooh. Sebelumnya, kejadian yang sama juga teljadi di Semalang, Jawa Tengah. Sekital 3.000 walga PDI Plo-Megawati mengambil alih kantol DPP PDI di Jalan Bligjen Katamso 24. Meleka malah kalena Soemalyo, Ketua DPD Jawa Tengah mendukung pelencanaan Kongles di Medan. Massa PDI Peljuangan kemudian membubuhkan cap jempol  dengan dalah di atas kain dan keltas yang belisi dukungan telhadap Ibu Mega. Komental banyak olang sih, menggelikan.
    Tapi, bukankah pelistiwa 27 Juli 1996 tidak lebih menggelikan?Ail kobokan yang tadinya putih belsih, sekalang sudah belwalna melah kehitaman oleh dalah. Hingga mengalili ke selokan-selokan yang juga, belubah menjadi melah; kalena saking banyaknya olang-olang yang “cuci tangan” dengan masalah itu. Komental saya sih, sedelhana saja, “Lakyat tidak mau lagi dibohongi,”
    Pemilu telah bellangsung dengan teltib, aman dan juldil. Lakyat dengan antusias menyelahkan suala dan menentukan pilihan meleka. PDI Peljuangan pun melaih suala telbanyak. Akankah suala sebagian besal lakyat yang telah diselahkan kepada PDI Peljuangan dan mendambakan telpilihnya Ibu Megawati menjadi Plesiden Lepublik Indonesia itu dileka-leka? Kulang cukupkah membohongi lakyat selama 32 tahun? Biallah lakyat belajal menikmati dan atau menanggung konsekuensi pilihan meleka. Biallah lakyat juga menikmati sebuah ketidakbohongan yang meleka dambakan.
    Saat ini, saya kila, sebagian besal lakyat Indonesia sudah tidak punya lagi ail mata. Tangis meleka pun sudah tidak lagi mengelualkan bunyi. Bialkanlah sebagian besal lakyat Indonesia mendambakan belaian kasih dan dekapan cinta seolang Ibu. Pendek kata, meleka sangat belhalap agal Ibu Megawati menjadi Plesiden Lepublik Indonesia. Itu saja.
    Semoga Indonesia yang selama 32 tahun panas menyengat, belubah menjadi teduh oleh mega-mega yang belhambulan; melindungi kita dali panas matahali. Dan ail kobokan tidak lagi belwalna melah kehitaman oleh dalah. Ail selokan, sungai juga tidak belwalna melah kehitaman kalena limbah kobokan yang beldalah tadi.
    Salam dali Si Kecil Jitet Koetana yang tetap setia jadi kaltunis.

KOESNAN HOESIE, Harian Sore WAWASAN
    Buat saya Mbak Mega itu sama halnya dengan wanita lainnya; seperti misalnya Mbakyu saya, ibu saya. Kehidupan yang membuat Mbak Mega tidak seperti lainnya, karena dia anak bekas Presiden negara ini, tinggalnya di Jakarta dan lain-lainnya. Apalagi, sebagai Ketua Umum PDI Perjuangan, sebuah partai yang pengikutnya sangat besar; terang saja Mbak Mega lalu menjadi sangat berbeda.
    Saya tidak ingin warga Banteng punya fanatisme yang kadang sampai di luar nalar. Semoga di bawah pimpinan Mbak Mega mereka bisa dibawa ke arah situasi yang lebih cerdas, secerdas Pak Kwik Kian Gie, misalnya. Terus terang saya bersimpati pada PDI Perjuangan dan Mbak Mega, karena ada Pak Kwik di partai tersebut.
    Terpaksa, saya tidak pakai cap jempol darah; maklum saya masih bisa bikin tanda tangan atau paraf pakai pulpen saya, gitu. Pokoknya, saya senang melihat Mbak Mega jadi presiden karena saya tidak senang melihat satu orang berkuasa terus-terusan; njelehi (menyebalkan), deh, pokoknya.

PRIE GS, (d/h) Harian SUARA MERDEKA (CEMPAKA MINGGU INI)
    Megawati menjadi figur yang luar biasa, terutama, karena ia memiliki sesuatu yang orang lain tak punya; yakni: derita!
    Benar, bahwa dia anak Bung Karno, tapi lain anak Bung Karno, lain pula derita yang dimilikinya. Mega memiliki akumulasi paling lengkap antara derita politik dan kharisma bapaknya.
    Pengertian itulah yang membuat Mega tumbuh menjadi figur yang fantastik. Inilah figur dari sedikit tokoh di Indonesia yang dinaungi bakat primordialistik, simbolik dan “mistik”.
    Karena itulah, sebetulnya Mega tak perlu kampanye untuk memenangkan Pemilunya. Massa Mega adalah massa yang sudah terbentuk sejak lama. Kepadanya tinggal dibukakan pintu yang lama dikunci paksa, untuk kemudian massa itu akan ber-euforia sedemikian rupa, memenuhi kehausan sosio-politiknya.
    Mega saat ini, adalah tokoh yang tengah memanen sejarahnya. Dalam momentum semacam itu, mustahil bila ada upaya untuk menahan laju perjalanannya. Kalaupun tipuan politik sesekali menjatuhkannya, Mega yang sesungguhnya sulit untuk benar-benar jatuh.

WAWAN BASTIAN, Tabloid AURA
    Bergunjing tentang Megawati serasa tak mengenal kata bosan. Bukan saja sejak rezim Orde Baru merajalela, bahkan sampai sekarang pun tetap saja menarik. Barangkali, bisa dikatakan, banyaknya simpati serta dukungan rakyat yang dicurahkan kepada PDI Perjuangan karena adanya ketidakadilan penguasa dalam memperlakukan Megawati dengan PDI Perjuangannya. Contoh paling mencolok adalah pada Peristiwa 27 Juli 1996 berupa penyerangan ke kantor PDI. Untunglah peristiwa ini sama sekali tidak membuat Megawati dan pengikutnya gentar. Mereka terus berjuang; bahkan, sejak itu, nama Megawati makin melambung dan mendapat simpati dari berbagai kalangan.
    Dilihat dari pribadi Mbak Mega sendiri, beliau bukan seorang yang emosional; juga bukan seorang politisi yang mabok. Jadi bukan hal yang aneh kalau saya memberi kesempatan serta dukungan kepada beliau untuk memimpin negeri tercinta ini. Selamat berjuang!

TYUD TAHYUDDIN
, Majalah PANJI MASYARAKAT dan TOKOH
    Walaupun belum pernah bertemu langsung, saya berani berspekulasi, bahwa Mbak Mega itu orang yang bersahaja, lembut dan bijaksana. Terus terang, dari senyumnya yang menawan, saya menarik kesan dia orang yang simpatik. Gaya bertutur katanya pun sangat keibuan. Soal Mega anak Bung Karno, bagi saya kok suatu hal yang kebetulan semata.
    Sebagai Ketua Umum sebuah partai politik yang besar dan calon pemimpin negeri ini, tampak sepadan dengan kekuatan kharisma dan kewibawaannya. Terlepas dari simpang siur opini tentang beliau, saya tetap mengagumi Megawati sebagai figur yang fenomenal, tabah dan tegar.
    Meskipun upaya menjegal langkahnya sangat deras dan datang dari berbagai penjuru, namun dengan semangat dan dukungan para simpatisannya, akhirnya Megawati membawa PDI Perjuangan ke peringkat pertama perolehan suara dalam Pemilu 1999. Sebuah prestasi yang sangat mencengangkan!

DIDIE SW, Tabloid AKSI
    Dalam situasi tertentu, sebut saja pada saat terjadi demo atau unjuk rasa, kartun juga cukup berperan untuk menjadi alat penyampai pesan atau visi. Mungkin hanya berupa coretan sederhana, namun bila dicermati ia cukup efektif untuk menyampaikan keperluan itu. Kalau dilihat secara teknis saja ujudnya memang kartun/karikatur, tetapi fungsinya toh tetap saja sebagai alat penyampai pesan atau seperti pamflet/poster. Jadi, jangan buru-buru dibingungkan dengan karikatur yang dimuat di koran/majalah.
Nah, soal contoh gambar kartun yang digunakan untuk demo, buktinya dapat dilihat dari berbagai unjuk rasa yang ditayangkan di televisi maupun dimuat di surat kabar dan majalah. Salah satu contoh yang gampang diingat, yaitu ketika para mahasiswa hendak memprotes Kejagung karena kinerjanya dalam mengusut kasus KKN dinilai lamban/pengecut; mereka berunjuk rasa ke Gedung Bundar sambil memajang gambar kartun Andi M. Ghalib berbadan ayam betina di setiap dinding kejaksaan. Cukup menggelitik, bukan?
    Di sisi lain, kartun/karikatur juga cukup ampuh untuk mengekspresikan gagasan kita tentang sesuatu yang tidak terduga. Suatu saat saya pernah mengadakan semacam “eksperimen” dengan cara menggambar karikatur Megawati dalam figur seorang Superman. Gagasan ini dilandasi pemikiran bahwa Mega, kendati seorang wanita, memiliki kans yang super untuk menjadi presiden negeri ini atau wanita super yang mampu membuat histeria massa pendukungnya.
    Tetapi apa yang terjadi? Ternyata massa PDI Perjuangan sendiri menolak penggambaran itu. Alasannya, gender. Mega adalah wanita dan Superman adalah laki-laki. Persoalan itu harus jelas dulu. Soal potensi dan kemampuannya bisa menyamai Superman, mengapa tidak ditampilkan dalam bentuk Wonder Woman, misalnya? Mungkin yang terpikir di benak mereka begitu. Reaksi pembaca itu, cukup mengagetkan saya, kendati sebenarnya masuk akal. Namun sebagian yang lain mengatakan, bahwa yang super itu cuma satu, yaitu Tuhan.
Itulah pengalaman yang pernah saya alami; tak kurang dari surat-surat kritik yang dikirim pembaca dan telepon yang memaki-maki dengan kata-kata kasar, pernah mengisi kenangan hidup saya selama menjalani profesi sebagai karikaturis. Pelajaran yang bisa dipetik dari peristiwa itu adalah, “Karya karikatur sebenarnya selalu terbuka untuk multiinterpretasi, namun kesalahpahaman bisa berakibat yang lebih tidak lucu dari karikaturnya sendiri.”

JOKO SUSILO, Harian SUARA MERDEKA
    Salut atas keberanian Megawati, walaupun dihalang-halangi berbagai rintangan, dia akan terus melangkah. Mega tampaknya ingin membentuk proses demokrasi yang sejalan dengan hati nurani rakyat; dan itu dia tunjukkan dengan tanpa banyak bicara.
    Pada prinsipnya saya senang-senang saja jika Mbak Mega benar-benar menjadi presiden negeri ini, paling tidak saya bisa menyebut beliau Mbak Presiden; eh, maksud saya agar proses demokratisasi berjalan sesuai dengan kehendak rakyat banyak. Sebaiknya beri dia kesempatan untuk membuktikan diri bahwa Mega mampu berbuat optimal untuk bangsa ini.
    Soal diamnya Mega, mungkin itu cara dia untuk menunjukkan kecerdasan dan kualitasnya sebagai calon pemimpin bangsa agar tidak terkesan mudah goyah dan emosional. Seseorang meyakini sesuatu tentu ada alasannya.
    Kita semua menunggu, Mbak Mega membuktikan bahwa dirinya mampu menjadi pemimpin bangsa. Selain itu kita juga menunggu bukti komitmennya untuk memberantas KKN yang nyata-nyata merusak mental bangsa ini. Selamat atas kemenangan PDI Perjuangan, yang berarti juga kemenangan Mbak Mega.

LIBRA (RAHMAT RIYADI), Majalah Berita Mingguan GATRA
    Diam itu mas? No!! Diam itu Mbak Mega!!
   
GESIGORAN, Harian BERITA BUANA
    Saya hanya punya tiga kata untuk menggambarkan sosok Mega: Tenang, Tegar dan Tabah.

M. SYAIFUDIN IFOED, Tabloid BIANGLALA
“Jika ada rasa dendam secuil pun dalam sanubariku itu akan meracuni nuraniku,” ucap Mega. Di balik sosoknya yang lembut dan keibuan ternyata menyimpan kekuatan moral yang luhur dan tulus. Adis – panggilan Megawati Soekarnoputri adalah Srikandi yang lahir di abad ini dan siap menghujamkan anak panahnya demi lancarnya proses demokrasi dan reformasi di negeri ini.
Keyakinannya bahwa “Kebenaran yang akan menang” membuat Mega menjadi figur pimpinan yang sangat dirindukan rakyatnya. Ketika menjadi Ketua Umum PDI Perjuangan, ia mendapat ujian yang sangat berat. Ketenaran dan popularitasnya juga tidak datang begitu saja; tetapi melalui perjuangan dan liku yang bukan main rumitnya. Hujatan, tekanan dan penganiayaan politik dihadapi Mega dengan sabar, tabah, tegar, dan tidak mendendam.
Sepantasnyalah bila Mega menjadi simbol “perlawanan” terhadap pemimpin Orde Baru yang selama ini berkuasa terlalu lama dan penuh dengan sandiwara politik. Walaupun mendapat dukungan arus bawah cukup besar, perjalanan politik Mega tidak juga berjalan mulus. Pencalonan Megawati sebagai salah satu calon pemimpin bangsa ini banyak mendapat ganjalan dari kalangan elit politik.
Tampaknya, kehadiran seorang perempuan menjadi pemimpin negara masih menjadi polemik ramai. Untuk mengubah tradisi politik di Indonesia menuju alam pikiran yang demokratis, perlu ada tenggang waktu untuk berlatih dan memperlancar diri; karena memang tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Dan Mega terus melaju, rakyat tak ragu mendukung langkahnya. Gerak langkah Mega telah tercatat dalam sejarah perjalanan bangsa ini, dengan sangat fenomenal. Kenapa dengan Mega? Kenapa kita takut pada perubahan? Bukankah perubahan itu terjadi setiap hari, setiap jam bahkan setiap menit dan detik. Perubahan itu terjadi secara alami kata Dyah Megawati Soekarnoputri.

PUTU SUARIA SOETHAMA (TUSUARIA), Bali Sekala Advertising
“Megawati adalah sebuah garis lurus”; sisi lengkungnya dari kacamata saya sebagai kartunis belum saya temui sejak Orba hingga Orde Reformasi.


GATOT EKO CAHYONO, Harian Sore SUARA PEMBARUAN
Megawati itu ibarat seorang yang telah siap untuk “ menuai “ apa yang telah ditanamnya. Beliau “menanam” dengan ketulusan hati, kegigihan, dan tahan banting selama bertahun–tahun di dalam partainya. Batu sandungan dan rintangan, beliau lalui dengan tabah dan tak gentar.
Kalaupun akhir–akhir ini beliau dicap figur yang “diam” terutama dalam menyikapi kemenangan perolehan suara PDI Perjuangan pada Pemilu ’99 bukan berarti beliau  cuek. Saya yakin beliau akan “action” setelah semuanya jelas dan pasti. Karena hal ini bukan semata–mata kepentingan partai, tetapi juga kepentingan negara dan bangsa.

FUAD T. ABIDIN,  (d/h MAJALAH SINAR)
Andaikata Megawati Soekarnoputri bernama Megawanto Soekarnoputra dan berkelamin laki-laki, mungkin suasana perpolitikan Indonesia tidak akan seuring-uringan sekarang ini. Tapi kenyataan yang ada membuat orang-orang menjadi bertingkah aneh. Ujung-ujungnya membuat masyarakat yang berharap bahwa setelah Pemilu, kondisi sosial, politik, ekonomi Indonesia akan membaik, menjadi ragu-ragu; jangan-jangan nanti malah terjadi perpecahan di dalam masyarakat.
Pemilu telah berakhir dan dari hasil penghitungan suara, kecen¬derungan PDI Perjuangan yang dipimpin Megawati akan memenangkan Pemilu telah jelas. PDI Perjuangan mendapat kemenangan dengan jumlah suara yang fantastis di sebagian besar wilayah Indonesia. Angka-angka pero¬lehan suaranya membuat orang seakan tak percaya bahwa partai itu adalah partai yang dulunya begitu sering diobok-obok oleh pemerintahan Orde Baru; yakni agar terus terjadi konflik dan keributan, sehingga timbul kesan PDI pimpinan Megawati itu, payah.
PDI Perjuangan dengan Megawatinya begitu fenomenal, sehingga ada kekhawatiran bahwa kemenangan itu hanyalah buah dari pelampiasan emosi rakyat semata dan tidak didasarkan atas pertimbangan rasional. Mengingat figur Soekarno sangat melekat padanya dan mungkin romantisme dari pendukung Soekarno dahulu seakan mendapatkan pelipur lara dalam diri Megawati. Mungkin ada benarnya kalau Megawati menjadi sangat diidolakan oleh pendukungnya. Megawati dan PDI Perjuangan dianggap sebagai simbol dari ketertindasan rakyat oleh pemerintahan Orde Baru.
Salah satu peristiwa penindasan yang sulit dilupakan antara lain kasus 27 Juli 1996. PDI Perjuangan yang terbuka bagi setiap golongan masyarakat menjadi pelarian bagi orang-orang yang kecewa terhadap Orde Baru dan Golkar. Masyarakat menginginkan pemimpin yang menjadi pengayom mereka, dan Megawati dianggap sebagai figur yang pas.
Tetapi permasalahan tidak berhenti sampai di sini. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sangat majemuk; dan pengaruh Orde Baru masih sangat erat melekat dalam pola pikir mereka. Ditambah lagi dengan umat Islam sebagai golongan terbesar di Indonesia dan kesensitifan mereka terhadap masalah gender, menjadikan posisi Megawati sebagai calon kuat presiden Indonesia,  terkesan  kurang mulus.
Buat saya pribadi, sekarang belum saatnya untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang demokratis. Kenyataan membukti¬kan bahwa Pemilu sebagai perangkat demokrasi yang jelas mene¬lorkan PDI Perjuangan sebagai pemenang tidak otomatis membuat Megawati menjadi presiden. Sebab masyarakat tidak memilih presiden secara langsung tetapi memilih wakil untuk duduk di MPR yang akan memilih presiden. Celah itu yang akan menjadi ganjalan bagi Megawati. Isu itu menjadi pemicu derasnya keinginan untuk kembali menyetel ulang UUD 45 lewat jalan amandemen. Masalah gender dan dikotomi muslim-nonmuslim juga menjadi persoalan yang unik dalam menuju masyarakat yang demokratis tersebut.
Tentu saja persoalan bukan tidak ada pemecahannya. Bisa saja Megawati tidak mencalonkan diri sebagai presiden tetapi diganti¬kan dengan figur lain yang bisa diterima masyarakat keseluruhan. Tetapi, bukan itu persoalannya. Reformasi bertujuan agar peruba¬han terjadi pada masyarakat Indonesia. Selama ini kita sudah terbiasa untuk mengangguk-angguk saja bila ada kebijakan baru pemerintah meskipun akhirnya merugikan masyarakat. Kita harus merubah gerakan anggukan kepala kita menjadi menggeleng-geleng tanda tak harus setuju terhadap kebijakan baru pemerintah, agar pemerintah mau mendengarkan dulu keinginan masyarakat banyak.
Perlu ada pembelajaran demokrasi pada masyarakat kita. Selama ini kita telah terbiasa pada pola paternalistik yang segala sesuatunya ditentukan oleh pihak yang berkuasa. Berkembangnya situasi yang menempatkan sistem sebagai pilar utama penyangga demokrasi di negeri ini, memungkinkan kita untuk tidak harus selalu melihat figur pimpinan sebagai satu-satunya rujukan dalam memutuskan sesuatu.
Untuk itu diperlukan pemimpin yang mampu berperilaku demokra¬tis, mau berdialog, berdebat, dan menghargai pendapat orang lain. Dari sana diharapkan perilaku itu akan berkembang menjadi sebuah tradisi demokrasi  oleh seluruh rakyat kita.
Saya percaya Megawati bisa. Dan saya juga percaya pada ucapannya bahwa dia akan menempatkan orang yang tepat pada posisi yang tepat. Dari sini diharapkan bahwa semua bidang akan dikelola secara profesional. Termasuk bidang hukum yang menjadi penopang tegaknya demokrasi. Tetapi bila Megawati tidak terpilih, setidaknya dia telah menunjukkan bahwa kekuatan riil masyarakat mampu untuk mengalahkan "kekuatan semu" Orde Baru. Dia bisa menjadi simbol bagi perlawanan dengan diam terhadap penindasan; seperti perlawanan diamnya Gandhi pada penindasan Inggris atas India. Saya tidak tahu pendapat saya ini benar atau salah. Soalnya, Megawati tidak pernah berbicara kepada saya. Peace !!!

Animasini Animasono

Nazar

Darminto M Sudarmo HumOr,  Maret 1995

ANIMASI Jepang di sono, animasi Indonesia di sini, bertemu dalam belanga, eh, di Galeri Cipta, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. "Dalang" dari pertemuan yang unik itu, tiada lain daripada Pusat Kebudayaan Jepang bekerja sama dengan Anima (Asosiasi Animasi Indonesia). Buat apa dua "kutub" itu ditemui-temuin? Panjang ceritanya.
Konon, Jepang yang telah memiliki sejarah animasi dan perkartunan lebih lama, ditunjang sumber daya manusia, etos kerja dan infrastruktur yang oke punya, ditambah lagi kredibilitas politik ekonomi yang sudah di atas angin, ditambah lagi bargaining power yang lebih aduhai, saat ini -- di mata dunia -- memiliki positioning yang jelas lebih mantap. Jadi, kalau animasi Jepang ditemukan dengan animasi kita, pasti, semua paham, siapa yang akan bertanya pada siapa; siapa yang harus memberitahu siapa; siapa yang harus mengajari siapa. Begitu, kan?
Tunggu dulu. Tidak seharfiah itu, faktanya. Ternyata, dua animator Jepang yang dikirim ke Indonesia, Yoji Kuri, 67 tahun, dan Taku Furukawa, 54 tahun, tergolong "mahluk" yang langka. Mereka bukan animator "buas", yang tahunnya cuma cari keuntungan finansial atawa lihai menangguk untung. Atawa juga bagian dari agen industrialisasi. Bukan. Ekstremnya, keduanya adalah animator idealis; yang hanya menghasilkan karya animasi bermutu dan bercorak kesenian. Jadi, nggak ada hubungannya dengan Doraemon atau tokoh kartun komersial lainnya.
Kenyataan ini, jelas eksotik; dan pasti mengagetkan, juga. Terutama, kalau kita lalu membandingkannya dengan animasi kita, baik itu karya PPFN (Perum Produksi Film Negara), Dwi Koendoro, Denny A. Djoenaid, Grup PT Index, Gema Cipta Media Animasindo, Gotot Prakoso, Wagiono dan lain-lain, yang tak seluruhnya berpretensi berkesenian atau tak seluruhnya menghasilkan karya komersial (iklan). Animasi-animasi kita, yang rupanya juga sudah bergerak ke arah semangat komputerisasianisme maupun sebagian yang masih manual-eksprementatif, tiba-tiba lalu terkesan "hingar-bingar" ketika berhadapan dengan karya Kuri dan Furukawa yang tenang, percaya diri dan efisien.
Dalam konteks ini, tentu bukan maksud awak mau mendikotomikan karya sono dan karya sini, bukan. Namun, konsistensi animator Jepang pada eksotisme teknik manual dan mengangkat ide-ide sederhana -- dalam arti bertolak dari realitas sehari-hari -- kok ya, masih ada. Masih percaya diri, bahkan, masih bangga. Ini sangat kontras dengan kesan umum yang muncul dari semangat industrialisasi Jepang yang begitu gegap-gempita. Ketambahan lagi, kalau merujuk biodata penghargaan internasional/nasional yang sudah pernah diperoleh dua animator ini, ternyata juga kagak main-main.
So, itulah. Diskusi dan tukar pikiran pun jalan dengan mulus. Peserta memperoleh masukan dasar pembuatan animasi kartun/gambar dan satu permainan dasar animasi ala Jepang yang disebut "Odorokiban", berisi lingkaran kertas hitam berlobang tiga mili (mirip jeruji pendek) yang di tengahnya ditempelkan gambar animasi melingkar. Ketika lingkaran kertas itu diputar dan kita menonton dari pantulan cermin, akan muncullah efek-efek animasi dari gambar yang kita bikin itu. Sederhana tampaknya, namun ia menjadi peletak dasar pembuatan animasi, di mana pun. Sespektakular apa pun. Apa istilah permainan itu di tempat kita? Sebut saja: bioskop kertas putar, kalau diterima. Kalau nggak, yang mutar sendiri.
Jepang memang punya tradisi berkarya semacam itu. Dari obsesi personal ke lembaga. Dari rumah ke pabrik. Dari studio rumahan, sampai ke studio raksasa. Merujuk tulisan Frederick W. Patten, pustakawan Kalifornia, yang di antaranya menekuni secara "melotot" animasi Jepang, dalam tulisannya Full Circle: Japanese Animation from Early Home Studios to Personal Workshops for Home Video dibahas tuntas peta perjalanan animasi Jepang sejak awal hingga perkembangannya dewasa ini. Sejak mula pergerakan Zenjiro Yamamoto, Kosei Seo, Noburo Ofuji, Wagoro Arai, Kenzo Masaoka, hingga ke era-era berikutnya termasuk era Yoji Kuri, Taku Furukawa dan Osamu Tezuka.
Pada saat demo pemutaran film animasi Yoji Kuri -- terkumpul dalam album The Maniac Age dan Taku Furukawa dengan judul seperti: Sleepy, Beautiful Planet, The Bird, New York Trip dan lain-lainnya, kita disuguhi sesuatu yang menggembirakan: kebebasan ekspresi. (Iya aja,  karena di Jepang tidak ada istilah SARA). Pada karya Yoji Kuri, kebebasan itu tampak jadi agung dan mendalam. Bagaimana ia mengekspresikan "kebuasan" dan keliaran humornya. Sehingga, meski sadistis itu relatif, kelucuan yang kita dapatkan usai menonton episode demi episode karyanya sangat los dan optimal. Tak ada beban. Tak ada kerikuhan. Humor ya humor. Lucu ya lucu! Wilayah yang bebas dari beban dan pretensi.
Apa efek moralnya bagi animator kita? Banyak sekali. Yoji Kuri, bahkan memberi catatan khusus pada saat presentasinya, bahwa sebaiknya, animator Indonesia berpikir untuk membuat karya yang khas dan mempunyai ciri sendiri. Tidak perlu harus ikut arus global. Tidak perlu dengan biaya yang gila-gilaan. Pesan yang menarik. Karena, itu juga pernah dibuktikan, baik oleh Yoji Kuri maupun Taku Furukawa, pada saat keinginan membuat animasi begitu menggebu tapi biaya tidak ada, mereka pun mencari jalan keluar yang indah: menggambar animasi di atas buku tulis. Hasilnya, malah dianggap unik.

Kartun Instalasi - Sibuk Mencari Dimensi

Abu Dzarin

Darminto M Sudarmo – (Buku) Anatomi Lelucon di Indonesia, KOMPAS, 2004

TIBA-TIBA istilah dimensi menjadi penting ketika orang bicara soal kartun instalasi. Mahluk apa lagi, ini? Kata "kartun" dan "karikatur" saja masih ruwet pengertiannya, kenapa sudah melompat ke dalam lintasan pemikiran yang begitu ngoyo woro? Kartun banyak dimensilah, kartun instalasilah, primitif 2.000-lah...Dekonstruksi macam apa lagi, sih?
Tenang, man. Penjelajahan kan perlu terus dilakukan. Toh orang nggak pernah mengenal kata puas. Di sejumlah disiplin kesenian, orang juga perlu bergerak, menggeliat, meski hanya sekadar membunyikan tulang dan mengendorkan otot: krek!
Senirupa, bikin instalasi. Maka, sekarang jarang terdengar kata pelukis karena kata perupa lebih adaptif kepada kemungkinan sejumlah eksplorasi. Teater, bikin sejumlah terobosan dan tawaran karena dianggap tradisi hanya memberikan kemandegan-kemandegan. Musik bikin sejumlah eksperimentasi, karena prinsip nada diatonis dan pentatonis hanya memberikan kamar yang sempit bagi keinginan rasa yang tak terbatas pinggir tepinya. Sejumlah ahli pikir, perlu memutar lagi beberapa "kecerobohan-kecerobohan" para pendahulu dan mengurasya dengan formula baru yang dianggap lebih valid dan lebih tokcer.
Humor tak mau kalah. Kartun tak mau ketinggalan. Entah ini, sebuah kelatahan atau dorongan evolutif, namun sejumlah jurus pun ditempuh untuk mengantisipasi dan meramaikan "zaman baru" yang diperkirakan memberikan lebih banyak pilihan, lebih banyak kemungkinan.
Humor itu apa, kartun itu apa, menjadi tidak penting lagi. Ia bisa terikat kepada sistem nilai individual atau massal. Humor bisa berarti bukan apa-apa, tanpa adanya perangkat-perangkat di sekitarnya. Kartun bisa menjadi bukan kartun kalau ia tidak memiliki sejumlah unsur yang membuatnya bisa disebut kartun.
Kenisbian ini bukan sesuatu yang mengkhawatirkan. Ia sebenarnya sudah ada sejak nilai yang berlaku dalam suatu peradaban tidak menyadari keberadaannya. Celah ini memberi kelonggaran, bahwa ada bagian yang sangat asasi di dalam tiap individu atau massa, yang tak boleh didikte oleh pengertian temporer yang telanjur disepakati pada kurun tertentu. Begitulah, "zaman baru" itu ditiupkan.
Zaman apa itu? Zaman yang mengajak kita konon harus terus bergerak, berdansa, menyanyi, berlari-lari, atau paling tidak bukan teler atau membatu kayak arca. Karena tak ada kehidupan tanpa gerak. Jantung berdenyut, darah bergerak-beredar, pembakaran berlangsung, metabolisme, oksigen, semuanya memenuhi tuntutan prinsip dinamisasi sekalipun secara fisik mungkin kita sedang tidur mendengkur.

KEHIDUPAN ogah cuti. Persis seperti bulan dan matahari. Kalau humor dan kartun mau hidup, ia tidak boleh mandeg, apalagi ngambeg. Setiap yang mandeg adalah selesai. Kalau sudah selesai, berarti penonton pulang. Jangan pula lupa, kehidupan bagi jantung, bagi darah, bagi paru-paru, berbeda dengan kehidupan mahluk supramuskil yang bernama kreativitas. Jadi, jangan ngaco.
Kreativitas, tak pernah muncul dengan dandanan yang sama. Tak ada kata ideal untuknya. Ia adalah ketakterdugaan yang selalu mengagetkan. Ia memuat sejumlah tawaran yang kadang membuat kita belum tentu siap menerimanya. Ia adalah kemuskilan, juga kecerdasan, keindahan, bahkan kadang kearifan.
Rutinitas bagi kreativitas adalah perubahan, pengembangan, pengendalian, penggalian, pemeliharaan, bahkan pengembaraan tanpa batas. Sumpah, benar-benar tak terjamah. Rahasia ilahiah, deh. Namun sekaligus liar bak siluman tanpa rumah. Rutinitas, selama itu bukan dilakukan oleh mesin atau fungsi-fungsi mekanisme, rupanya telanjur dipahami oleh sejumlah orang pemuja orde modernitas sebagai: kematian dalam hidup. Sebuah kecelakaan yang telah terjadi sebelum orang mengalaminya. Humor dan kartun ogah yang begitu itu.
Mungkin begitu, mungkin tidak. Kalau di Semarang kemudian kita dengar ada perhelatan "Pesta Humor" dengan kartun banyak dimensi. Bahkan menandai event penting dengan "Primitif 2.000", mungkin ini sebuah perjalanan yang kelewat bergegas.
Apa yang muncul, adalah fantasi-fantasi futuristik yang miring. Namun, kalau orang mengendapkan persoalan secara substansial, apakah hanya dalam batas itu pemahaman tentang kartun banyak dimensi atau kartun instalasi menancapkan eksistensinya? Segala yang dianeh-anehkan sebagai sesuatu yang mungkin dianggap baru pada saat ini dan dituduh lapuk pada zaman nanti?
Perlukah orang memisahkan pengertian bahwa kebudayaan, peradaban itu terdiri atas yang primitif dan modern? Padahal, menurut yang empunya cerita, trend temporer itu sangat nisbi dan maha relatif; bahwa semua itu sebenarnya bisa dianggap sebagai lelucon yang tak kenal duduk perkaranya hati nurani peradaban. Kok?
Perlukah dimanyunkan lagi, bahwa dikotomi kata "ini" dan "itu", seperti halnya "primitif" dan "modern" bila keseleo taruh, jangan-jangan malah bisa menambah beban tambahan persoalan, yang pada akhirnya: hanya akan menghabiskan waktu; padahal, waktu tak pernah habis ( ready stock dah, pokoknya). Semoga, humor dan kartun, bukan menjadi bagian paling naif dari mekanisme garis edar planet kreativitas di antara seni-seni lain, karena sebenarnya ia adalah poros dari konstelasi segala energi. Segar, luwes, adaptif, dan tidak suka gagah-gagahan. Menurut aturan mainnya, sih, begitu; entahlah, kenyataannya.


Demokrasi Nilai dalam Estetika

Tevi Hanafi

Darminto M Sudarmo - SUARA MERDEKA, Senin, 6 Juli 1987.

ISU tentang estetika dalam kesenian (seni rupa) di Indonesia, belakangan menjadi bahan pemberitaan cukup ramai. Salah satu tolok ukurnya, adalah munculnya Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia yang pernah dideklarasikan pada tahun 1975 dan oleh sesuatu hal lalu membubarkan diri pada 1979.
Satu hal yang tak terduga, kini semangat gerakan itu muncul lagi. Terekspresi pada pemerannya yang berlangsung dari pertengahan hingga akhir Juni 1987. Konsep yang ditawarkan, seperti menyiratkan kegelisahan serupa. Yakni semangat untuk menerobos kebekuan spesialisasi nilai. Yang dimaksudkan dari spesialisasi oleh gerakan tersebut tentu kubu atau penganut paham kebudayaan tinggi (high culture);  yang selama ini meyakini, bahwa karya seni rupa masih berkutat antara: seni lukis (murni), seni patung, maupun berbagai ekspresi yang sejenis.
Batasan ini seperti memenjara, sekaligus menghakimi kemungkinan tampilnya kreativitas seni rupa. Yang sebenarnya, menurut paham gerakan seni rupa baru, bisa lebih luas dengan sekian media dan dimensi yang tidak lagi terkungkung.
Pameran yang mengambil pola Pasaraya Dunia Fantasi di Taman Ismail Marzuki Jakarta, memang mampu menimbulkan sejumlah dampak, terutama dalam dunia kesenirupaan di Indonesia. Dampak tersebut tercermin dalam hubungannya antara konsep dan nilai estetika. Jika gaung dan pengaruh ini sekaligus mampu menjadi “anak kandung” bagi warga seni rupa Indonesia, berarti sejumlah peluang tentang pemahaman dan pengertian seni rupa akan mengalami demokratisasi nilai.

Demokratisasi dan Pluralisasi
Konsep estetika dalam lorong kesenirupaan yang selama ini dianggap sah, adalah karya-karya seni rupa yang terekspresi lewat media: seni lukis, seni patung dan seni grafis. Selebihnya belum dijamah. Seperti misalnya yang tumbuh di luar negeri. Christo, seorang tokoh seni rupa realisme baru, pernah membalut jembatan Pont Neuf dengan kain warna kuning emas, berikut juntaian lampu-lampu warna-warni. Ulah Christo ini sempat bikin kaget warga Paris, dan dia menganggap karya tersebut adalah karya seni rupa. Meskipun dalam hal ini mengambil tekanan pada aspek situasi.
Pernah pula seorang seniman lain, mengadakan pameran “bau” di sebuah hall yang luas. Di dalam hall itu dibangun beberapa sekat atau bilik dari bahan tembus pandang (kaca). Tiap bilik tersedia tabung yang mengeluarkan bau-bauan. Maka dalam ratusan sekat itu, tersedia ratusan bau, yang tentunya bisa bikin pengunjung cengar-cengir atau tersipu-sipu. Bentuk semacam ini konon juga menghendaki disebut sebagai karya seni rupa.
Lalu muncul ulah yang lain lagi, gurun pasir yang gersang disulap jadi padang rumput yang hijau. Orang jadi cingak, ternyata itu juga ulah seorang seniman. Yang menyemprotnya dengan cat hijau dari udara. Lalu bukit karang juga disentuh, dibalut kanvas, lalu dilomeri cat, itu juga menghendaki disebut karya seni rupa.
Di Indonesia, barangkali ini juga akibat dari pengaruh informasi, atau karena memang menangkap semangat yang sama, yakni ingin menggeliat dari kebekuan pemahaman dan nilai estetika seni rupa establis, maka sejumlah anak muda dari sekolah tinggi seni rupa, bikin karya lingkungan di Parangtritis. Pantai yang menghampar luas itu jadi lahan yang mengasyikkan. Itu juga ingin diakui sebagai karya seni rupa yang sah.
Di Taman Ismail Marzuki, sejumlah anak muda yang disebut tadi, yang kemudian lebih beken dengan kelompok Gerakan Seni Rpa Baru Indonesia, juga bikin pameran yang lebih kontroversial. Lebih jauh lagi, karena mendayagunakan sejumlah unsur. Unsur rupa, bunyi, bau dan rasa. Ada sebuah kotak berlapis kain hitam, di atasnya terdengar sirine meraung-raung, tak jauh dari situ, terlihat kubangan darah. Ada pula penonjolan suatu bentuk, di bawahnya terdapat cassete recorder, yang memekikkan pidato Bung Karno. Ini juga menghendaki disebut sebagai karya seni rupa.
Tahun 1987 ini, antara 15-30 Juni, gerakan yang konon sudah resmi membubarkan diri itu, ternyata bangkit lagi. Kini tampil dengan meledakkan trend. Pasaraya Dunia Fantasi, pasaraya adalah toko serba ada, dunia fantasi adalah dunia angan-angan. Dunia yang ada di realitas dongeng, realitas mimpi, realitas imaji.
Apa yang ditawarkan? Mungkin ingin menjalin milliu apresian yang akrab dengan kenyataan tersebut. Apresian yang dekat dengan konteks. Tak beda realitas simbol urban. Cermin kebergegasan, cermin konsumtivisme, cermin warna kota. Yang di dalamnya diguyur seni rupa keseharian. Dari stiker, iklan, komik, sampul majalah, kalender dan sebagainya.
Seni rupa ini pada mulanya amat dilecehkan oleh para pengamat seni rupa serius. Bila kini ada semacam upaya memperjuangkan kehadirannya, tentunya bukan suatu hal yang berlebihan. Estetika bisa tumbuh di setiap milliu, ras, kelompok maupun unit. Dari yang makro hingga mikro, demikian setidaknya pandangan Arief Budiman, yang akhirnya dia lebih suka menyebut estetika “kontekstual”. Karena itu, estetika bagi unit yang satu bisa jadi berbeda dengan unit yang lain. Inilah yang kemudian menjadi semacam munculnya warna demokratisasi dan pluralisasi nilai. Dari pluralisme estetik ke estetika pluralis.

Gejala Pop
Apa pun istilah yang kemudian dilahirkan karena gerakan tersebut, salah satu semangat yang bisa ditangkap dari kegelisahan ini adalah munculnya pola atau idiom pop yang dijadikan sandaran meluncurkan jurus.
Sebagaimana kita ingat, estetika demikian bila dikaitkan hubungannya dengan ruang dan waktu, maka lebih cenderung memilih ruang kendati pun harus mengorbankan waktu. Tak beda sinyalemen Ignas Kleden, pop memang sengaja memilih penonton yang banyak kendati sekali gebrak sudah itu lalu dilupakan.
Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia, barangkali harus muncul dengan sejumlah gagasan, agar kehadirannya, dalam menawarkan konsep, menawarkan alternatif estetik tidak dicengkeram rutinitas. Sebab peluang-peluang yang bisa ditempuh untuk itu nyaris tak mengenal batas dimensi. Malah secara gurauan, dimensi transenden maupun imanen bukan masalah lagi. Karena pemahaman rupa dalam alam transenden, bisa mengesankan “akal-akalan” kalau pinjam istilah orang sekarang.
Karenanya pula, bentuk dan media menjadi semakin mengembang. Situasi-situasi karikatural pun bisa diangkat sebagai alternatif seni rupa. Semisal di pasar ada orang mencopet dompet, si empunya mengetahui, sebelum si empunya berteriak, si pencopet telah berteriak lebih dulu. Hingga akhir dari situasi itu, si empunyalah yang jadi sasaran gebukan orang banyak. Tak beda juga misalnya terjadi serempetan di jalan raya. Pihak yang salah pun bisa berani menghardik dan marah lebih dulu, maka masyarakat lain akan mengikuti menyalahkan tanpa tahu duduk persoalannya. Apakah yang demikian juga ditawarkan sebagai seni rupa? Gejala yang merangsang tumbuhnya dialog.
Kegelisahan seni rupa baru memang layak muncul. Karena beberapa nilai, tak cukup diwakili oleh warna, garis dan bentuk saja. Realitas kehidupan adalah total. Dari unsur rupa, warna, bunyi, bau dan rasa. Kesemuanya punya kans untuk diangkat sebagai sebuah karya yang bisa dinikmati oleh masyarakat. Apakah di sana nanti bakal sanggup menggiring ke suasana dialog atau kebuntuan, itu bergantung kepintaran para perupanya. Bagaimana menyiasati gagasan, menyusun simbol dan sebagainya.
Bila pilihan ini tak punya harapan untuk sanggup menyiasati waktu, itu sudah merupakan risiko dari sebuah alternatif. Karena konteks realitas memang senantiasa berubah. Baik menyusut maupun mengembang. Peran teknologi juga tak bisa diabaikan. Juga Poleksosbudhankamnas!

Gejala Jarak
Mengapa demokratisasi dan pluralisasi budaya perlu diadakan? Jawabannya adalah, karena terciptanya jarak dan penghakiman nilai estetik. Jarak apresiasi dan penghakiman nilai? Ya.
“Keindahan, karena itu, memang bukan monopoli kaum elite; terutama elite sosial, yang di Indonesia kini tampak masih gugup dan canggung mencari selera. Apa yang indah bagi orang “sekolahan” tak bisa dipaksakan sebagai indah bagi orang pinggiran. Tapi dengan sikap toleran dan demokratis sekalipun, tak berarti keindahan tak menyembunyikan hierarkinya sendiri, apapun kriterianya.” (Goenawan Mohamad, Catatan Pinggir, Tempo, 27 Juni 1987).
Selanjutnya Daniel Bell, seorang tokoh sosiologi menyebut gejala demikian sebagai “the democratization of genius” lahir dari semangat kerakyatan. Itu terjadi sepuluh tahun yang lalu, menandai meledaknya kesenian Barat di tahun 60-an. Yang kemudian sempat dicatat oleh sejarah munculnya sang “pelopor” seni rupa pop, Andy Warhol. Seniman yang pintar melukis ikllan, atau berleceh-leceh membuat kipas angin ukuran raksasa dengan bahan kanvas. Produk teknologi masa kini yang divisualkan secara gombor dan kedodoran. Atau seorang senirupawan kolosal seperti Christo, tukang menggarap lingkungan dan situasi.
Jarak apresiasi di Indonesia, barangkali sebuah kondisi yang gugup. Kehadiran seni rupa dengan sekian “kreativitas”-nya konon semakin tak terjangkau oleh sementara kaum elite pendidikan sekalipun. Coba saja simak, hitung kuantitas pengunjung setiap ada pameran lukisan di ruang pamer TIM misalnya, atau Balai Budaya, atau tempat-tempat lain yang ada. Bandingkan dengan jumlah pengunjung pameran kartun, atau seni-seni lain yang melibat atau merefleksikan peroalan masyarakat dengan kadar aktualitas dan faktualitas yang tepat porsi.
Jarak apresiasi demikian kini akan dibangunkan jembatan oleh konsep estetika ala Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia. Ada tanda-tanda bahwa penawaran nilai mendekati final. Dan barangkali saja, model seni rupa begituan akan laris. Kendati pun demikian, ini toh bukan satu-satunya pilihan, seni rupa paham establis tak berarti harus tersingkir, harus terhapus dan tak boleh hadir. Persoalan yang perlu dipahami adalah persoalan lorong yang boleh-boleh saja majemuk. Tanpa perlu ada represi antara satu dan lainnya.
Dengan hadirnya “lawan tanding” konsep estetik, sekaligus mencegah timbulnya praktik dan penerapan monolitas nilai atau  penghakiman sepihak. Kita tinggal menunggu waktu saja, apakah benar gerakan tersebut mampu tampil eksis menghadapi berbagai gempuran dan perjalanan di proses waktu. Bila ya, itu berarti ia tak akan disebut sebagai gerakan lagi, melainkan sudah mencapai fase aliran; yang sah hadir di salah satu sentral, tempat konsep estetika mempertanggungjawabkan nilai-nilai yang ditawarkannya.

Rencana Desain Wajah

Berikut ini rencana desain wajah KOKKANG Update, namun karena KU terbit dalam versi online, maka desain wajah ini kami agendakan untuk menunggu waktu yang tepat. Entah kapan itu, kami belum tahu.


Kokkang 20 Tahun: Menunggu Kepunahan?

Zaenal dan Yono

Darminto M SudarmoSUARA MERDEKA, Minggu, 21 Juli 2002


    BAGI pembaca awam yang sering menjumpai inisial Kokkang di bawah sebuah gambar kartun di berbagai media cetak (ibukota maupun daerah) mungkin sering bertanya-tanya, penanda apa kata Kokkang itu? Kokkang adalah sebuah kelompok atau paguyuban kebudayaan yang berarti Kelompok Kartunis Kaliwungu, berlokasi di sebuah kota Kecamatan di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Para pengamat acapkali melihat  kiprah Kokkang dari kaca mata romantisme yang sangat berlebih. Belasan tahun yang lalu, GM Sudarta pernah menyinggung Kokkang di Majalah Prisma dan melihat keunikan komunitas ini yang menebar di berbagai kampung dan bahkan dari satu keluarga terkadang dijumpai dua atau tiga kartunis sekaligus. Belum lama, Jaya Suprana, penyebar wabah humor di Semarang pada tahun 80-an, juga bertanya dengan nada khawatir kalau-kalau eksotisme Kokkang sudah larut oleh kikisan waktu dan berakhir dengan kepunahan; artinya, romantisme Kokkang yang unik itu, tak ada lagi. Sementara itu, tak kurang  dari sekian puluh media cetak (koran/majalah) maupun TV yang telah mengekspose dan memprofilkan apa dan siapa di balik paguyuban yang hingga kini tetap survive itu dengan pendekatan yang sama: romantisme dan penuh kegemasan.
    Semua respon itu sungguh besar artinya bagi Kokkang. Terutama kaitannya dengan interaksi budaya yang bisa ditumbuhkan dan dilestarikan bagi lingkungan sekitar. Namun dalam perjalanannya yang sudah 20 tahun (bulan Mei ) tahun 2002 ini, Kokkang tak sadar telah terjebak pada putaran arus untuk tetap menjadi eksotis dan naif guna memberikan kegembiraan bagi pihak luar yang mengherani keanehan maupun keunikan-keunikannya. Semacam heritage yang dipaksakan. Mengapa demikian? Karena pilihan itu mengandung konsekuensi yang cukup siginifikan bagi para pelaku (kartunis) yang berkiprah di dalamnya; sementara itu fakta di luar tak bisa dielakkan, lahan untuk berkarya para kartunis makin menyurut kendati jumlah media cetak secara kuantitas justru makin berlimpah. Kekhawatiran yang bisa timbul adalah Kokkang akan bubar dan warisan budaya itu tinggal kenangan bila tak ada lagi media massa/cetak yang menyediakan diri untuk ekspresi mereka. Ini artinya, pendekatan romantisme acapkali melupakan siklus kehidupan yang sangat vital antara proses berkarya dan sesudahnya.    
    Selain melihat Kokkang dari kaca mata eksotisme tadi, akan lebih sehat, jika kita juga melihat Kokkang sebagai sebuah realitas komunitas yang di dalamnya terdiri atas individu-individu yang perlu berkembang dan mandiri. Artinya, individu-individu itu memerlukan semacam “jaminan” bahwa dengan pilihannya itu (menjadi kartunis) mereka dapat meniti karier di kemudian hari. Kokkang memang tak pernah memberikan jaminan apa-apa kepada para anggotanya, karena Kokkang selama ini bertindak dan bergerak layaknya “de schooling society” bagi para anggotanya. Mereka bebas menentukan sikap sejauh mereka telah merasa mampu dan memiliki “sayap” untuk berkiprah lebih jauh di institusi luar Kokkang. Dari aspek ini, tidaklah mengecewakan. Sejumlah kartunis/karikaturis media ibukota, bahkan, merupakan figur-figur “lulusan” Kokkang. Sebutlah nama-nama, misalnya: M. Najib (Majalah Gamma, Harian Rakyat Merdeka & Harian Radar Glodok), M. Nasir (Tabloid Bola), Wawan Bastian (Tabloid Aura), Ifoed (Freelancer di Majalah Pantau, dll.), Hertanto Soebijoto (sebagai wartawan di Harian Warta Kota), Qomar Sosa (Harian Lampu Merah), M. Tafin (Ilustrator di Harian Rakyat Merdeka), Tyud Tahyudin (Freelancer di Tabloid Tokoh), Tyok (Harian Media Indonesia), Prie GS (Tabloid Cempaka Minggu Ini), Djoko Susilo (Harian Suara Merdeka), Wahyu Kokkang (grup Jawa Pos) dan masih banyak lagi lainnya. Ini artinya, sebuah advantage, hadiah atau pengharapan di masa depan menjadi sesuatu yang penting bagi komunitas Kokkang. Mereka tak mungkin dibiarkan jalan di tempat dan tak jelas kelanjutannya. Lestarinya Kokkang, masuknya anggota baru dari kalangan muda yang jumlahnya mencapai puluhan, itu juga dipicu oleh advantage dan pengharapan tadi. Jadi melihat Kokkang sebagai sebuah fakta dan kasus yang ada di Kaliwungu saja, sangat tidak berimbang dan menafikan pemikiran-pemikiran yang melatarbelakangi strategi pengembangan kelompok tersebut. Dan itu bisa dilakukan dari mana saja, di luar Kaliwungu, sekalipun.
    Dari diskusi-diskusi tidak resmi, didapat misi visi anggota Kokkang yang selama ini masih dipendam dalam hati. Mereka mendambakan agar di masa depan (entah kapan) Kokkang dapat memiliki kantor sekretariat sendiri. Tidak terus-menerus menumpang orang lain. Sekretariat itu hendaknya memiliki ruang-ruang yang punya fungsi: administratif, dokumentatif, aktivitas kreatif, ajang pamer karya secara rutin dan ruang untuk kegiatan diskusi atau sejenisnya. Harapan di masa depan ini memang belum dapat diproyeksikan bingkai waktunya. Mereka menyadari, sebagai organisasi budaya, hingga kini memang total bergerak dari iuran sebagian honorarium kartun mereka yang dimuat di media cetak. Jadi secara bergurau mereka boleh nyeletuk, bahwa hingga detik ini mereka dari segi finance termasuk organisasi yang masih bersih dari kooptasi politik, LSM atau fund mana pun. Independen dan bersih itu, mengandung konsekuensi “kemiskinan” yang juga bersih. Artinya, meja kursi, milik organisasi pun mereka tak punya. Itulah Kokkang.
    Bila menengok sejarahnya, organisasi sejenis Kokkang sebenarnya cukup banyak. Pada awal 80-an juga, muncul nama-nama seperti Pakyo (Paguyuban Kartunis Yogyakarta), Secac (Semarang Cartoon Club), Karung (Kartunis Bandung), Pokal (Padepokan Kartunis Tegal), Kelakar (Kelompok Kartunis Purwokerto), Ikan Asin (Ikatan Kartunis Banjarmasin), Terkatung (Terminal Kartunis Ungaran) dan lain-lainnya. Namun dalam rentang waktu yang dua dekade ini, tampak sebagaian di antaranya yang masih bisa bergerak, sebagian yang lain masih merangkak, sebagian lagi yang tak jelas jejaknya. Itu semua sah-sah saja. Apakah paguyuban-paguyuban semacam itu hanya akan difungsikan sebagai mode pada periode waktu tertentu, atau disikapi dengan serius dan untuk jembatan aktualisasi diri, semua terpulang pada masing-masing kelompok dan individu. Tak terkecuali organisasi yang konon bertaraf nasional semacam Pakarti (Persatuan Kartunis Indonesia) pun, kini seperti menyelinap, menyembunyikan muka di sela hingar-bingar pekik eforia reformasi yang tak jelas ujungnya. Tak terlihat kontribusi Pakarti pada persoalan-persoalan mendasar negeri ini, misalnya masalah kebudayaan atau kesenian sekalipun; padahal bila dicermati negeri ini sudah berkembang menjadi sangat lucu; bukankah itu “makanan” empuk bagi komunitas karikaturis? Kelompok humoris? Apa yang terjadi sebenarnya dengan Pakarti?
    Kokkang 20 tahun, mungkin masih ada sedikit harapan. Kendati organisasi, kelompok atau paguyuban apa pun tak lebih dari kurungan yang bila salah disikapi bisa membekukan penghuninya, namun tradisi berkesenian yang masih menjadi perekat bagi kelestarian semangat para anggota, hendaknya tetap terjaga sebagaimana awal mula kelompok tersebut didirikan. Pertanyaannya kemudian, bila lahan tempat eskpresi para kartunis, termasuk Kokkang makin sempit, lalu apa yang dilakukan mereka? Mungkinkah berkarya kartun, yang notabene adalah karya garfis tanpa harus tergantung pada media cetak? Pertanyaan ini memang pernah mengemuka dan mendatangkan sejumlah gagasan solusi; seperti misalnya melompat ke film animasi kartun, melukis dengan acuan bentuk dan isi yang serba kartunal/karikatural, mendesain kaos dengan total serba bergaya kartun, membuat ilustrasi bergaya kartun untuk buku; namun solusi ini tidak selalu mudah diaplikasikan karena peran pihak lain, pemodal, misalnya. Sedangkan mengartun untuk konsumsi media massa, para kartunis sendiri sudah dengan sendirinya mampu dan tak menjumpai banyak kesulitan teknis. Modal alat yang dibutuhkan paling banter hanya tinta, water color, kertas, perangko untuk pengiriman dan sekadar buku-buku/koran/majalah untuk referensi. Tetapi, alam tampaknya selalu terkembang menjadi guru. Kendati secara factual, media cetak di Indonesia tidak selalu merupakan lahan subur bagi para kartunis, pikiran mereka mulai menengok ke beberapa lembaga penyelenggara lomba kartun internasional. Para penyelenggara itu ada di Jepang, Korea Selatan, Belgia, Turki, Italia dan lain-lain. Jumlahnya cukup banyak. Rutin tiap tahun dengan tema yang berbeda-beda. Hadiahnya pun tidak main-main. Ada yang berupa medali (emas), sepeda, namun tak kurang pula penyelenggara yang memberikan hadiah hingga 50 jutaan rupiah ke atas untuk kategori pemenang bergengsi. Dari 30 hingga 45 kartunis Kokkang potensial, paling tidak 30% di antaranya sudah pernah dan bahkan rutin menjadi pemenang lomba tingkat manca negara tersebut, kendati bukan kategori yang bergengsi.
    Respon dan kritik tentang Kokkang datang silih berganti. Salah satu kritik yang paling mendapat perhatian adalah soal tema dan isi kartun yang digarap dengan teknis itu-itu saja dan ini banyak terlihat, termuat di berbagai media Indonesia. Ketika hal ini didiskusikan, terungkap bahwa hal itu terjadi lantaran, media cetak di Indonesia memang menghendaki corak kartun dengan teknis penggarapan sederhana dan ide-ide yang sederhana pula; artinya, mudah dimengeri pemirsa. Untuk karya-karya karikatur dan kartun bagi konsumsi advertising, misalnya, tentu saja memerlukan pendekatan dan penggarapan yang sangat berbeda, demikian konfirmasi anak-anak Kokkang. Di luar jawaban yang bernada apologis tersebut, sebagian anggota Kokkang yang lain juga menerima bahwa kritik itu tetap akan dijadikan cambuk dan masukan bagi semangat berkarya mereka. “Sebagian besar dari kami, belajar mengartun langsung dari teknik deformatif dan plethat-plethot semacam itu. Hampir jarang yang belajar dari teknik menggambar yang baku; misalnya dari pemahaman persepektif dan menggambar benda-benda secara proporsional. Wajar saja kan, bila pilihan ini mengandung konsekuensi…” ujar salah seorang anggota Kokkang.

    Ya, 20 tahun Kokkang. Seharusnya sudah ready to shoot…..!!!

Friday, June 15, 2012

All Are The Winners

Caricature by Amir Taqi

Potong Rambut Luar Biasa

Thursday, June 14, 2012

Rujukan Kartunis Dunia

INGIN memperluas wawasan Anda tentang kartunis-kartunis dunia? Berikut ditampilkan para kartunis itu dari yang masih eksis berkarya, hingga yang masih tergolong angkatan muda dan sudah meninggal namun karya-karya kartunnya tetap bertebaran ke bberbagai media di dunia. Siapa saja mereka? Mari kita lihat bersama-sama.


Lurie's NewsCartoon
http://www.luriecartoon.com/
http://www.luriecartoon.com/about_lurie.htm
http://www.cartoonists.gr/full_news.php?newsid=424



































Rod McKie Illustrations and Cartoons

Cartoons and illustrations for Playboy, The Harvard Business Review, The Wall Street Journal, Readers Digest(USA), Prospect (UK), Ellery Queen's Mystery Magazine, National Lampoon, The Phoenix (Ire), Marian Heath Greeting Cards, and various publications worldwide. rodmckie-at-lycos.com
http://rodmckie.blogspot.com/2009/04/joys-of-sax-and-other-uk-cartoonists.html




Roland Fiddy
http://www.keywordpicture.com/keyword/roland%20fiddy/
http://rakbukukartun.blogspot.com/2010/06/roland-fiddy-lucu-dan-fanatik-pada_04.html



Charles M Schulz
Dalam wawancara dengan majalah kartun dunia WittyWorld, dikutip kekayaan kartunis Schulz pernah melebihi Michael Jackson (sebagaimana diberitakan dalam Forbes). 
http://myhero.com/go/hero.asp?hero=Charles_Schulz


Daryl Cagle, Kartunis AS dari angkatan muda yang potensial dan produktif.
http:// cagle.com
http://www.thenewagenda.net/2011/06/09/why-are-threats-of-violence-against-women-condoned/daryl-cagle-cartoon-of-hillary-dragon-being-slain-by-obama/
http://blog.cagle.com/author/cagle/























Guillermo Mordillo
Tokoh kartunnya yang imut dengan penyajian tatawarna yang estetik membuat karyanya sangat dikagumi pencintanya baik dari kalangan anak-anak, remaja hingga dewasa.
http://en.wikipedia.org/wiki/Mordillo
http://thomastoons.typepad.com/thomastoons_cartoon_blog/2007/10/more-mordillo-p.html


















(dms)

Search This Blog