Wednesday, June 27, 2012

Kokkang 20 Tahun: Menunggu Kepunahan?

Zaenal dan Yono

Darminto M SudarmoSUARA MERDEKA, Minggu, 21 Juli 2002


    BAGI pembaca awam yang sering menjumpai inisial Kokkang di bawah sebuah gambar kartun di berbagai media cetak (ibukota maupun daerah) mungkin sering bertanya-tanya, penanda apa kata Kokkang itu? Kokkang adalah sebuah kelompok atau paguyuban kebudayaan yang berarti Kelompok Kartunis Kaliwungu, berlokasi di sebuah kota Kecamatan di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Para pengamat acapkali melihat  kiprah Kokkang dari kaca mata romantisme yang sangat berlebih. Belasan tahun yang lalu, GM Sudarta pernah menyinggung Kokkang di Majalah Prisma dan melihat keunikan komunitas ini yang menebar di berbagai kampung dan bahkan dari satu keluarga terkadang dijumpai dua atau tiga kartunis sekaligus. Belum lama, Jaya Suprana, penyebar wabah humor di Semarang pada tahun 80-an, juga bertanya dengan nada khawatir kalau-kalau eksotisme Kokkang sudah larut oleh kikisan waktu dan berakhir dengan kepunahan; artinya, romantisme Kokkang yang unik itu, tak ada lagi. Sementara itu, tak kurang  dari sekian puluh media cetak (koran/majalah) maupun TV yang telah mengekspose dan memprofilkan apa dan siapa di balik paguyuban yang hingga kini tetap survive itu dengan pendekatan yang sama: romantisme dan penuh kegemasan.
    Semua respon itu sungguh besar artinya bagi Kokkang. Terutama kaitannya dengan interaksi budaya yang bisa ditumbuhkan dan dilestarikan bagi lingkungan sekitar. Namun dalam perjalanannya yang sudah 20 tahun (bulan Mei ) tahun 2002 ini, Kokkang tak sadar telah terjebak pada putaran arus untuk tetap menjadi eksotis dan naif guna memberikan kegembiraan bagi pihak luar yang mengherani keanehan maupun keunikan-keunikannya. Semacam heritage yang dipaksakan. Mengapa demikian? Karena pilihan itu mengandung konsekuensi yang cukup siginifikan bagi para pelaku (kartunis) yang berkiprah di dalamnya; sementara itu fakta di luar tak bisa dielakkan, lahan untuk berkarya para kartunis makin menyurut kendati jumlah media cetak secara kuantitas justru makin berlimpah. Kekhawatiran yang bisa timbul adalah Kokkang akan bubar dan warisan budaya itu tinggal kenangan bila tak ada lagi media massa/cetak yang menyediakan diri untuk ekspresi mereka. Ini artinya, pendekatan romantisme acapkali melupakan siklus kehidupan yang sangat vital antara proses berkarya dan sesudahnya.    
    Selain melihat Kokkang dari kaca mata eksotisme tadi, akan lebih sehat, jika kita juga melihat Kokkang sebagai sebuah realitas komunitas yang di dalamnya terdiri atas individu-individu yang perlu berkembang dan mandiri. Artinya, individu-individu itu memerlukan semacam “jaminan” bahwa dengan pilihannya itu (menjadi kartunis) mereka dapat meniti karier di kemudian hari. Kokkang memang tak pernah memberikan jaminan apa-apa kepada para anggotanya, karena Kokkang selama ini bertindak dan bergerak layaknya “de schooling society” bagi para anggotanya. Mereka bebas menentukan sikap sejauh mereka telah merasa mampu dan memiliki “sayap” untuk berkiprah lebih jauh di institusi luar Kokkang. Dari aspek ini, tidaklah mengecewakan. Sejumlah kartunis/karikaturis media ibukota, bahkan, merupakan figur-figur “lulusan” Kokkang. Sebutlah nama-nama, misalnya: M. Najib (Majalah Gamma, Harian Rakyat Merdeka & Harian Radar Glodok), M. Nasir (Tabloid Bola), Wawan Bastian (Tabloid Aura), Ifoed (Freelancer di Majalah Pantau, dll.), Hertanto Soebijoto (sebagai wartawan di Harian Warta Kota), Qomar Sosa (Harian Lampu Merah), M. Tafin (Ilustrator di Harian Rakyat Merdeka), Tyud Tahyudin (Freelancer di Tabloid Tokoh), Tyok (Harian Media Indonesia), Prie GS (Tabloid Cempaka Minggu Ini), Djoko Susilo (Harian Suara Merdeka), Wahyu Kokkang (grup Jawa Pos) dan masih banyak lagi lainnya. Ini artinya, sebuah advantage, hadiah atau pengharapan di masa depan menjadi sesuatu yang penting bagi komunitas Kokkang. Mereka tak mungkin dibiarkan jalan di tempat dan tak jelas kelanjutannya. Lestarinya Kokkang, masuknya anggota baru dari kalangan muda yang jumlahnya mencapai puluhan, itu juga dipicu oleh advantage dan pengharapan tadi. Jadi melihat Kokkang sebagai sebuah fakta dan kasus yang ada di Kaliwungu saja, sangat tidak berimbang dan menafikan pemikiran-pemikiran yang melatarbelakangi strategi pengembangan kelompok tersebut. Dan itu bisa dilakukan dari mana saja, di luar Kaliwungu, sekalipun.
    Dari diskusi-diskusi tidak resmi, didapat misi visi anggota Kokkang yang selama ini masih dipendam dalam hati. Mereka mendambakan agar di masa depan (entah kapan) Kokkang dapat memiliki kantor sekretariat sendiri. Tidak terus-menerus menumpang orang lain. Sekretariat itu hendaknya memiliki ruang-ruang yang punya fungsi: administratif, dokumentatif, aktivitas kreatif, ajang pamer karya secara rutin dan ruang untuk kegiatan diskusi atau sejenisnya. Harapan di masa depan ini memang belum dapat diproyeksikan bingkai waktunya. Mereka menyadari, sebagai organisasi budaya, hingga kini memang total bergerak dari iuran sebagian honorarium kartun mereka yang dimuat di media cetak. Jadi secara bergurau mereka boleh nyeletuk, bahwa hingga detik ini mereka dari segi finance termasuk organisasi yang masih bersih dari kooptasi politik, LSM atau fund mana pun. Independen dan bersih itu, mengandung konsekuensi “kemiskinan” yang juga bersih. Artinya, meja kursi, milik organisasi pun mereka tak punya. Itulah Kokkang.
    Bila menengok sejarahnya, organisasi sejenis Kokkang sebenarnya cukup banyak. Pada awal 80-an juga, muncul nama-nama seperti Pakyo (Paguyuban Kartunis Yogyakarta), Secac (Semarang Cartoon Club), Karung (Kartunis Bandung), Pokal (Padepokan Kartunis Tegal), Kelakar (Kelompok Kartunis Purwokerto), Ikan Asin (Ikatan Kartunis Banjarmasin), Terkatung (Terminal Kartunis Ungaran) dan lain-lainnya. Namun dalam rentang waktu yang dua dekade ini, tampak sebagaian di antaranya yang masih bisa bergerak, sebagian yang lain masih merangkak, sebagian lagi yang tak jelas jejaknya. Itu semua sah-sah saja. Apakah paguyuban-paguyuban semacam itu hanya akan difungsikan sebagai mode pada periode waktu tertentu, atau disikapi dengan serius dan untuk jembatan aktualisasi diri, semua terpulang pada masing-masing kelompok dan individu. Tak terkecuali organisasi yang konon bertaraf nasional semacam Pakarti (Persatuan Kartunis Indonesia) pun, kini seperti menyelinap, menyembunyikan muka di sela hingar-bingar pekik eforia reformasi yang tak jelas ujungnya. Tak terlihat kontribusi Pakarti pada persoalan-persoalan mendasar negeri ini, misalnya masalah kebudayaan atau kesenian sekalipun; padahal bila dicermati negeri ini sudah berkembang menjadi sangat lucu; bukankah itu “makanan” empuk bagi komunitas karikaturis? Kelompok humoris? Apa yang terjadi sebenarnya dengan Pakarti?
    Kokkang 20 tahun, mungkin masih ada sedikit harapan. Kendati organisasi, kelompok atau paguyuban apa pun tak lebih dari kurungan yang bila salah disikapi bisa membekukan penghuninya, namun tradisi berkesenian yang masih menjadi perekat bagi kelestarian semangat para anggota, hendaknya tetap terjaga sebagaimana awal mula kelompok tersebut didirikan. Pertanyaannya kemudian, bila lahan tempat eskpresi para kartunis, termasuk Kokkang makin sempit, lalu apa yang dilakukan mereka? Mungkinkah berkarya kartun, yang notabene adalah karya garfis tanpa harus tergantung pada media cetak? Pertanyaan ini memang pernah mengemuka dan mendatangkan sejumlah gagasan solusi; seperti misalnya melompat ke film animasi kartun, melukis dengan acuan bentuk dan isi yang serba kartunal/karikatural, mendesain kaos dengan total serba bergaya kartun, membuat ilustrasi bergaya kartun untuk buku; namun solusi ini tidak selalu mudah diaplikasikan karena peran pihak lain, pemodal, misalnya. Sedangkan mengartun untuk konsumsi media massa, para kartunis sendiri sudah dengan sendirinya mampu dan tak menjumpai banyak kesulitan teknis. Modal alat yang dibutuhkan paling banter hanya tinta, water color, kertas, perangko untuk pengiriman dan sekadar buku-buku/koran/majalah untuk referensi. Tetapi, alam tampaknya selalu terkembang menjadi guru. Kendati secara factual, media cetak di Indonesia tidak selalu merupakan lahan subur bagi para kartunis, pikiran mereka mulai menengok ke beberapa lembaga penyelenggara lomba kartun internasional. Para penyelenggara itu ada di Jepang, Korea Selatan, Belgia, Turki, Italia dan lain-lain. Jumlahnya cukup banyak. Rutin tiap tahun dengan tema yang berbeda-beda. Hadiahnya pun tidak main-main. Ada yang berupa medali (emas), sepeda, namun tak kurang pula penyelenggara yang memberikan hadiah hingga 50 jutaan rupiah ke atas untuk kategori pemenang bergengsi. Dari 30 hingga 45 kartunis Kokkang potensial, paling tidak 30% di antaranya sudah pernah dan bahkan rutin menjadi pemenang lomba tingkat manca negara tersebut, kendati bukan kategori yang bergengsi.
    Respon dan kritik tentang Kokkang datang silih berganti. Salah satu kritik yang paling mendapat perhatian adalah soal tema dan isi kartun yang digarap dengan teknis itu-itu saja dan ini banyak terlihat, termuat di berbagai media Indonesia. Ketika hal ini didiskusikan, terungkap bahwa hal itu terjadi lantaran, media cetak di Indonesia memang menghendaki corak kartun dengan teknis penggarapan sederhana dan ide-ide yang sederhana pula; artinya, mudah dimengeri pemirsa. Untuk karya-karya karikatur dan kartun bagi konsumsi advertising, misalnya, tentu saja memerlukan pendekatan dan penggarapan yang sangat berbeda, demikian konfirmasi anak-anak Kokkang. Di luar jawaban yang bernada apologis tersebut, sebagian anggota Kokkang yang lain juga menerima bahwa kritik itu tetap akan dijadikan cambuk dan masukan bagi semangat berkarya mereka. “Sebagian besar dari kami, belajar mengartun langsung dari teknik deformatif dan plethat-plethot semacam itu. Hampir jarang yang belajar dari teknik menggambar yang baku; misalnya dari pemahaman persepektif dan menggambar benda-benda secara proporsional. Wajar saja kan, bila pilihan ini mengandung konsekuensi…” ujar salah seorang anggota Kokkang.

    Ya, 20 tahun Kokkang. Seharusnya sudah ready to shoot…..!!!

0 comments:

Post a Comment

Search This Blog